A. CONTOH BUMDESA DAN NAWACITA
UU Desa No. 6/20014 tentang Desa menjadi prioritas penting bagi
Pemerintahan Jokowi-JK, dimana Desa diposisikan sebagai “kekuatan besar” yang
akan memberikan kontribusi terhadap misi Indonesia yang berdaulat, sejahtera
dan bermartabat. Dalam NAWACITA, khususnya Nawa Cita ke-tiga “Membangun
Indonesia dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah-daerah dan Desa dalam
Kerangka Negara Kesatuan”, Pemerintahan Jokowi-JK berkomitmen mengawal
implementasi UU Desa secara sistematis, konsisten dan berkelanjutan, untuk
mencapai Desa yang maju, kuat, mandiri dan demokratis.
Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi berkomitmen mewujudkan
harapan UU Desa dan NAWACITA. Dalam konteks demikian, pendirian BUM Desa
diposisikan sebagai salah satu kebijakan untuk mewujudkan Nawa Cita Pertama,
Ketiga, Kelima dan Ketujuh, dengan pemaknaan sebagai berikut:
Gambar 1.
DESA DAN NAWA CITA
1.
BUM Desa
merupakan salah satu strategi kebijakan untuk menghadirkan institusi negara
(Kementerian Desa PDTT) dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Desa
(selanjutnya disebut Tradisi Berdesa).
2.
BUM Desa
merupakan salah satu strategi kebijakan membangun Indonesia dari pinggiran melalui
pengembangan usaha ekonomi Desa yang bersifat kolektif.
3.
BUM Desa
merupakan salah satu strategi kebijakan untuk meningkatkan kualitas hidup
manusia Indonesia di Desa.
4.
BUM Desa
merupakan salah satu bentuk kemandirian ekonomi Desa dengan menggerakkan
unit-unit usaha yang strategis bagi usaha ekonomi kolektif Desa.
B. BUM DESA DAN TRADISI BERDESA
Selama ini kita mengenal konsep hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, akan tetapi belum menyentuh lokus Desa. Terbitnya UU Desa telah
menempatkan Desa menjadi wadah kolektif dalam hidup bernegara dan
bermasyarakat, hingga tercipta konsep Tradisi Berdesa sebagai konsep
hidup bermasyarakat dan bernegara di ranah Desa.1 Inti gagasan dari Tradisi
Berdesa adalah:
1.
Desa
menjadi basis modal sosial yang
memupuk tradisi solidaritas, kerjasama, swadaya, dan gotong royong secara
inklusif yang melampaui batas-batas eksklusif kekerabatan, suku, agama, aliran
atau sejenisnya.
2.
Desa
memiliki kekuasaan dan berpemerintahan yang didalamnya mengandung otoritas dan akuntabilitas untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat.
3.
Desa
hadir sebagai penggerak ekonomi lokal yang mampu menjalankan fungsi proteksi dan distribusi pelayanan
dasar kepada masyarakat.
Di lain pihak terdapat Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) yang didefinisikan Pasal 1 angka 6 UU
No. 6/2014 tentang Desa, sebagai :
“Badan
Usaha Milik Desa, selanjutya disebut BUM Desa, adalah badan usaha yang seluruh
atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset,
jasa pelayanan dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan
masyarakat Desa.”
Konsepsi Tradisi Berdesa merupakan salah satu gagasan
fundamental yang mengiringi pendirian BUM Desa. Tradisi Berdesa paralel
dengan kekayaan modal sosial dan modal politik serta berpengaruh terhadap daya
tahan dan keberlanjutan BUM Desa. Inti gagasan dari Tradisi Berdesa dalam
pendirian BUM Desa adalah:
1.
BUM
Desa membutuhkan modal sosial (kerja sama, solidaritas, kepercayaan, dan sejenisnya) untuk
pengembangan usaha yang menjangkau jejaring sosial yang lebih inklusif dan
lebih luas.
2.
BUM
Desa berkembang dalam politik inklusif melalui praksis Musyawarah Desa sebagai forum tertinggi untuk
pengembangan usaha ekonomi Desa yang digerakkan oleh BUM Desa.
3.
BUM
Desa merupakan salah satu bentuk usaha ekonomi Desa yang bersifat kolektif antara
pemerintah Desa dan masyarakat Desa. Usaha ekonomi Desa kolektif yang dilakukan
oleh BUM Desa mengandung unsur bisnis sosial dan bisnis ekonomi.
4.
BUM
Desa merupakan badan usaha yang
dimandatkan oleh UU Desa sebagai upaya menampung seluruh kegiatan di bidang
ekonomi dan/atau pelayanan umum yang dikelola oleh Desa dan/atau kerja sama
antar-Desa.
5.
BUM
Desa menjadi arena pembelajaran bagi warga Desa dalam menempa kapasitas
manajerial, kewirausahaan, tata kelola Desa yang baik, kepemimpinan,
kepercayaan dan aksi kolektif.
6.
BUM
Desa melakukan transformasi terhadap program yang diinisiasi oleh pemerintah (government
driven; proyek pemerintah) menjadi “milik Desa”.
Gambar 2. BUM DESA, NAWACITA DAN
TRADISI BERDESA
C. CONTOH BUMDESA DAN ASAS UTAMA UU DESA: "REKOGNISI-SUBSIDIARITAS”
Konstitusionalitas Desa. Norma dasar dalam Pasal
18B ayat (2) UUD NRI 1945 mengharuskan negara melakukan rekognisi (pengakuan
dan penghormatan) terhadap kesatuan masyarakat hukum adat (desa, gampong,
nagari, kampung, nagari dan lain-lain) beserta hak-hak tradisionalnya.
Selengkapnya norma dasar Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan:
“Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.”
Norma dasar tersebut dioperasionalkan lebih lanjut dalam Pasal 1
angka 1 UU Desa yang berbunyi:
“Desa adalah desa dan
desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang
diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia”.
Frasa “kesatuan masyarakat hukum” telah menempatkan Desa
sebagai organisasi campuran (hybrid) antara masyarakat berpemerintahan (self
governing community) dengan pemerintahan lokal (local self government):
a) Desa berbentuk pemerintahan masyarakat atau pemerintahan
berbasis masyarakat. Pemerintahan Desa berbeda dengan pemerintahan daerah,
dimana pemerintahan daerah tidak mengandung unsur masyarakat, melainkan
perangkat birokrasi.
b) Desa tidak identik dengan pemerintah Desa dan kepala Desa.
Desa mengandung pemerintahan (local self government) dan sekaligus
mengandung masyarakat (self governing community), sehingga membentuk
kesatuan (entitas) hukum.
Frasa “prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak
tradisional” bermakna: keberadaan dan kewenangan Desa sudah ada sebelum
adanya negara, sebagai warisan masa lalu maupun berkembang dinamis karena
prakarsa masyarakat setempat. Dengan demikian, masyarakat yang
“Sebagian
besar warga masyarakat Indonesia selalu datang kepada pemerintah Desa untuk
memperoleh pelayanan dan penyelesaian masalah sosial selama 24 jam tanpa henti.
Hal ini berbeda dengan pemerintah daerah yang melayani masyarakat dengan jam
kerja tertentu. Oleh karena itu, Desa sebagai organisasi pemerintahan berbasis
masyarakat (self governing community dan local self government),
harus diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI.”berprakarsa membentuk keberadaan
Desa dan kewenangan Desa, dimana keberadaan Desa dan kewenangan Desa tersebut
harus diakui dan dihormati oleh negara.
Frasa “diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia” berkaitan dengan Pasal 5 UU Desa bahwa Desa
berkedudukan di wilayah kabupaten/ kota. Hal ini sebangun dengan keberadaan
kabupaten/kota dalam wilayah provinsi, sehingga kabupaten/kota bukanlah bawahan
provinsi. Inti gagasannya adalah sebagai berikut:
a) Desa merupakan organisasi pemerintahan berbasis masyarakat (self
governing community dan local self government) yang kedudukannya
berada dalam wilayah kabupaten/kota, akan tetapi tidak serta merta menjadi
bawahan kabupaten/kota.
b) Desa lebih merupakan organisasi pemerintahan berbasis
masyarakat (self governing community dan local self government)
yang keberadaannya berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat
sehari-hari.
Asas Rekognisi dan
Subsidiaritas. Asas rekognisi dan subsidiaritas ditetapkan sebagai asas
pengaturan Desa dalam Pasal 3 UU Desa. Naskah penjelasan UU Desa mendefinisikan
(i) Asas Rekognisi sebagai pengakuan terhadap hak asal usul, sedangkan (ii)
Asas Subsidiaritas sebagai penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan
keputusan secara lokal untuk kepentingan Desa.
Asas Rekognisi berkaitan erat dengan definisi Desa dalam Pasal 1
angka 1 UU Desa terutama tentang hak asal usul. Inti gagasan Asas Rekognisi
yang menghormati dan mengakui kewenangan hak asal usul Desa selanjutnya
ditegaskan dalam Pasal 19 huruf a UU Desa, “Kewenangan Desa meliputi: (a)
kewenangan berdasarkan hak asal usul...”.
Asas Rekognisi terhadap Desa dalam UU Desa bersifat kontekstual,
konstitusional dan hasil dari negosiasi politik antara pemerintah, DPR, DPD dan
juga Desa. Pemaknaan terhadap Asas Rekognisi adalah sebagai berikut:
1.
Desa atau
yang disebut dengan nama lain, sebagai kesatuan masyarakat hukum adat,
merupakan entitas yang berbeda dengan kesatuan masyarakat hukum yang disebut
daerah.
2.
Desa atau
yang disebut dengan nama lain merupakan entitas yang sudah eksis sebelum NKRI
diproklamasikan pada tahun 1945 dan sudah memiliki susunan asli maupun hak asal
usul.
3.
Desa atau
yang disebut dengan nama lain merupakan bagian dari keragaman Indonesia
sehingga tidak dapat diseragamkan.
4.
Desa atau yang
disebut dengan nama lain, dalam lintasan sejarah, Desa secara struktural
menjadi arena eksploitasi terhadap tanah dan penduduk serta diperlakukan tidak
adil mulai masa feodalisme, kolonial hingga otoritarianisme.
5.
Konstitusi
telah memberikan amanat kepada negara untuk mengakui dan menghormati Desa atau
yang disebut dengan nama lain sebagai kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya.
6.
Sesuai
amanat konsitusi [Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945], negara, swasta (pelaku
ekonomi) dan pihak ketiga (LSM, perguruan tinggi, lembaga donor internasional
dan sebagainya) harus melakukan pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi
Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum.
7.
Eksistensi
Desa mencakup hak asal usul (bawaan maupun prakarsa lokal yang berkembang)
wilayah, pemerintahan, peraturan maupun pranata lokal, lembaga-lembaga lokal,
identitas budaya, kesatuan masyarakat, prakarsa Desa maupun kekayaan Desa.
8.
Konsep mengakui
dan menghormati Desa berarti tindakan untuk memanfaatkan, mendukung dan
memperkuat institusi Desa yang sudah ada, dan bukannya menonjolkan tindakan
intervensi (campur tangan) dan tindakan memaksa dan mematikan institusi Desa.
Contoh tindakan yang bertentangan dengan Asas Rekognisi (pengakuan dan
penghormatan) adalah:
9.
Pemerintah
maupun swasta menjalankan proyek pembangunan di Desa tanpa berdialog atau tanpa
memperoleh persetujuan Desa;
10.
Pihak luar
membentuk kelompok masyarakat Desa tanpa persetujuan Desa; dan lain sebagainya.
11.
Rekognisi
Desa dimaksudkan untuk mengakui dan menghormati identitas, adat istiadat,
pranata dan kearifan lokal sebagai bentuk tindakan untuk keadilan kultural (cultural
justice), yang disertai dengan Redistribusi Ekonomi dalam bentuk
alokasi dana untuk Desa dari APBN dan APBD.
Berkaitan dengan Asas Rekognisi, UU Desa mendefinisikan Asas
Subsidiaritas sebagai penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan
keputusan secara lokal untuk kepentingan desa. Inti gagasan Asas Subsidiaritas
selanjunya ditegaskan dalam Pasal 19 huruf b UU Desa, “Kewenangan Desa
meliputi: ..(b) kewenangan lokal berskala Desa..”.
Pemaknaan dari Asas Subsidiaritas adalah sebagai berikut:
1.
Penggunaan
kewenangan dan pengambilan keputusan tentang kepentingan masyarakat setempat
kepada Desa. Urusan
lokal atau kepentingan masyarakat setempat yang berskala lokal ditangani oleh
Desa sebagai organisasi lokal yang paling dekat dengan masyarakat.
Gambar 3. ASAS REKOGNISI-SUBSIDIARITAS BUM Desa 19
2.
Negara
menetapkan kewenangan lokal berskala Desa menjadi kewenangan Desa melalui UU
Desa. Penetapan
kewenangan lokal berskala Desa berarti terdapat peraturan perundang-undangan
yang secara langsung memberi batas-batas yang jelas tentang kewenangan lokal
berskala lokal, tanpa melalui mekanisme delegasi maupun pelimpahan
urusan/wewenang dari kabupaten/kota. Misalnya, Peraturan Menteri Desa PDTT No.
1/2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan
Lokal Berskala Desa.
3.
Pemerintah
melakukan dukungan dan fasilitasi terhadap Desa dalam mengembangkan prakarsa
untuk menyusun dan menetapkan kewenangan lokal berskala Desa. Misalnya,
Peraturan Bupati/Walikota tentang Daftar Kewenangan Lokal Berskala Desa yang
disusun dengan melibatkan prakarsa pemerintahan dan masyarakat Desa. Didalamnya
terdapat BUM Desa sebagai salah satu bentuk Daftar Kewenangan Lokal Berskala
Desa.
UU Desa dan PP No. 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut PP Desa)
mengamanatkan Kewenangan Desa berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal
Berskala Desa [Pasal 34 PP Desa], dan ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan
kewenangan Desa diatur dengan Peraturan Menteri (Pasal 39 PP Desa).
Kementerian Desa PDTT telah menerbitkan Permendesa PDTT
No. 1/2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan
Lokal Berskala Desa. Definisi Kewenangan Lokal Berskala Desa dalam Pasal 1
angka 4 Permendesa PDTT No. 1/2015 tersebut adalah:
“Kewenangan lokal berskala Desa adalah kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh
Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena
perkembangan Desa dan prakarsa masyarakat Desa”.
Permendesa PDTT tersebut di atas merupakan pendasaran bagi BUM
Desa untuk dimasukkan sebagai salah satu bentuk kewenangan lokal berskala Desa,
dengan dukungan faktual seperti dicontohkan berikut ini.2
Pertama, BUM Desa sebagai kewenangan lokal berskala Desa yang telah
dijalankan oleh Desa. BUM Desa Sukamanah, Kecamatan Megamendung,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat, telah memiliki aset milyaran rupiah dengan tiga
unit layanan usaha (penyediaan sarana air bersih, simpan pinjam bagi usaha
pedagang kecil dan pengelolaan pasar Desa).
Kedua, BUM Desa sebagai kewenangan lokal berskala Desa yang mampu
dan efektif dijalankan oleh Desa. BUM Desa “Maju Makmur”, Desa
Minggirsari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, berkolaborasi dengan pemerintah daerah setempat dan berhasil
menjalankan usaha distribusi pupuk dan nasabah kredit sebanyak 173 orang dengan
omset ratusan juta rupiah, serta nasabah tabungan 61 orang dengan omset
mencapai 81 juta rupiah.
Ketiga, BUM Desa sebagai kewenangan
lokal berskala Desa yang muncul karena perkembangan Desa dan prakarsa
masyarakat Desa. BUM Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten
Gunung kidul, DI Yogyakarta, mendorong kebangkitan warga dari efek gempa bumi
pada tahun 2006. Desa berhasil mengelola Air Terjun Sri Gethuk dan Gua
Rancang Kencono sebagai obyek wisata. Sumber mata air dikelola BUM Desa
untuk mencukupi kebutuhan air warga setempat hingga pengelolaan pariwisata dan
simpan pinjam. Nilai keuntungan pengelolaan air (SPAMDes) mencapai 80 juta
rupiah, pengelolaan pariwisata pada tahun 2012 memberi kontribusi hingga 327
juta rupiah dan pengelolaan simpan pinjam dengan modal kecil sekitar 2 juta
rupiah. Dampaknya, lapangan kerja terbuka luas mulai maraknya warung, industri
makanan ringan dan tenaga pemasaran obyek wisata dari pemuda-pemudi Karang
Taruna setempat.
Rekognisi BUM Desa berarti tindakan untuk
memanfaatkan, mendukung dan memperkuat institusi usaha ekonomi Desa yang sudah
ada dan bukan dilandasi oleh tindakan intervensi (campur tangan).
Rekognisi BUM Desa disertai dengan
Redistribusi Ekonomi dalam bentuk penggunaan alokasi dana untuk
Desa dari APBN dan APBD untuk pendirian, penetapan, pengurusan dan pengelolaan
BUM Desa.
Subsidiaritas BUM Desa dijalankan melalui penetapan
kewenangan lokal berskala Desa, baik melalui Peraturan Bupati/Walikota maupun
Perdes tentang Kewenangan Lokal Berskala Desa, dengan memasukkan pendirian,
penetapan, pengurusan dan pengelolaan BUM Desa didalam peraturan tersebut.
Subsidiaritas BUM Desa melalui penggunaan wewenang
pemerintah Desa, BPD dan masyarakat Desa melalui Musyawarah Desa dalam
mengembangkan prakarsa untuk pendirian, penetapan, pengurusan dan pengelolaan
BUM Desa.
Eksistensi BUM Desa wajib direkognisi oleh Kementerian Desa PDTT
melalui peraturan kebijakannya. Oleh karenanya, berkaitan dengan
keberadaan-faktual BUM Desa sebagai bagian dari Kewenangan Lokal Berskala Desa,
Kemendesa PDTT telah memasukkan pendirian dan pengelolaan BUM Desa ke dalam Kewenangan
Lokal Berskala Desa bidang pengembangan ekonomi lokal Desa (vide Pasal
12 huruf m Permendesa PDTT No. 1/2015).
Adapun penetapan BUM Desa dikategorikan ke dalam Kewenangan
Lokal Berskala Desa di bidang pemerintahan Desa (vide Pasal 8 huruf
l Permendesa PDTT No. 1/2015). Hal ini dimaksudkan agar pendirian, penetapan
dan pengelolaan BUM Desa didasarkan pada Asas Rekognisi dan Asas Subsidiaritas.
Rekognisi dan Subsidiaritas terhadap BUM Desa (c.q. Permendesa
PDTT No. 1/2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan
Kewenangan Lokal Berskala Desa), paralel dengan (i) Permendesa PDTT No. 2/2015
tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa
dan (ii) Permendesa PDTT No. 4 /2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan
Pengelolaan, dan Pembubaran BUM Desa. Artinya, seluruh aspek BUM Desa harus
dibahas bersama dalam Musyawarah Desa sebagai “forum tertinggi”. Dalam jalur teknokratik, pembentukan dan
pengembangan BUM Desa dimasukkan ke dalam RPJM Desa bidang pelaksanaan
pembangunan Desa, khususnya untuk rencana kegiatan pengembangan usaha
ekonomi produktif. Penyusunan RPJM Desa paralel dengan Perbup/walikota dan
Perdes tentang Kewenangan Lokal Berskala Desa yang didalamnya terdapat
pendirian, penetapan dan pengembangan BUM Desa. Dengan demikian, BUM Desa
dijalankan berdasar Asas Rekognisi-Subsidiaritas dan sinkron dengan aspek
teknokratik dalam pembangunan Desa (c.q. RPJM Desa, RKP Desa dan APB Desa).
D. BUM DESA: KONSOLIDATOR
DESA MEMBANGUN DAN MEMBANGUN DESA
UU Desa secara tegas membedakan antara Pembangunan Desa dan
Pembangunan Perdesaan. Pembangunan Desa3 menggunakan Paradigma
“Desa Membangun” berbasis Desa, sedangkan Pembangunan Perdesaan menggunakan
Paradigma “Membangun Desa” berbasis Kawasan Perdesaan. Kementerian Desa PDTT
hadir sebagai institusi yang mengkonsolidasikan paradigma Desa Membangun dan
Membangun Desa. Pembangunan Desa (“Desa Membangun”) menempatkan Desa sebagai subjek pembangunan,
sedangkan Pembangunan Perdesaan (“Membangun Desa”) merupakan domain pemerintah.
Posisi BUM Desa dapat dielaborasi dalam Pembangunan Desa (“Desa
Membangun”) dan Pembangunan Perdesaan (“Membangun Desa”). Dalam paradigma “Desa
Membangun”, basis lokasi pendirian BUM Desa adalah Desa, agar BUM Desa dekat
dengan denyut nadi usaha masyarakat Desa secara kolektif.
Di lain pihak, dalam paradigma “Membangun Desa”, basis lokasi
pendirian BUM Desa Bersama maupun Kerjasama antar 2 (dua) BUM Desa atau lebih
adalah Kawasan Perdesaan, agar Pemerintah, Pemda, swasta, lembaga donor
dan Desa dapat berkolaborasi dalam skala usaha yang lebih besar.
Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas
hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai
kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Matriks 1. BUM DESA dalam DESA MEMBANGUN dan MEMBANGUN DESA
ISU BUM DESA
|
DESA MEMBANGUN
(“Pembangunan Desa”)
|
MEMBANGUN DESA
(“Pembangunan Perdesaan”)
|
Basis Lokasi
|
Desa
|
Kawasan Perdesaan
|
Tujuan
|
Perekonomian Desa dan
pelayanan usaha untuk warga setempat
|
Kerjasama antar Desa dan
pelayanan usaha antar-Desa
|
Kewenangan
|
Berdasarkan Kewenangan Lokal
Berskala Desa
|
Kewenangan Lokal Berskala Desa
antar-Desa berkolaborasi dengan Kewenangan Pemerintah dan Pemda
|
Prosedur
|
Musyawarah Desa
|
Musyawarah antar Desa
|
Daftar Pustaka : Anom Surya Putra, 2015, Badan Usaha Milik Desa : Spirit Usaha Kolektif Desa, Kementrian Desa, PDT, Jakarta
Kami juga menjual dan mempunyai artikel yang lain: