Tema desa mandiri desa membangun ekonomi merupakan bagian dari model pembangunan yang digerakkan oleh desa
(village driven development),
khususnya di sektor ekonomi. Sebagai seorang sarjana ekonomi Totok Daryanto,
anggota Pansus RUU Desa, sangat getol berbicara tentang desa sebagai aktor
penggerak ekonomi lokal. Kepala desa bersama masyarakat dapat memanfaatkan aset
lokal maupun melakukan konsolidasi lahan subsisten menjadi lahan produktif,
dengan pola pertanian kolektif, peternakan kolektif atau hutan kolektif.
Totok
mempunyai pengalaman sederhana dan konkret di Gunungkidul. Totok bersama kepala
desa dan masyarakat melakukan geraakan menanam 1.000 pohon sengon, yang dibagi
2 pohon setiap pekarangan rumah tangga. Pohon sengon tidak perlu perawatan
khusus. Selama 5 tahun 1.000 pohon itu dijual bersama dengan harga Rp 250 juta.
Hasil sejumlah itu dibagi antara pemerintah desa dan masyarakat.
Contoh itu begitu sederhana, konkret dan tidak terlalu sulit untuk
dilakukan. Angka 1.000 pohon tentu masih sedikit, tetapi kalau desa
menginginkan jumlah yang lebih banyak/besar,
tentu cukup menambah jumlah bibit sengon yang akan ditanam. “Kalau semua desa
memanfaatkan lahan dan aset yang ada dengan berbagai jenis komoditas, maka pendapatan desa dan
masyarakat akan meningkat dengan cepat”, demikian ungkap Totok Daryanto.
Gerakan ekonomi desa itu bisa bertahap dan sambil belajar; bisa mulai dari
penamaman pohon produktif, kemudian bisa berkembang ke pertanian kolektif dan
kalau sudah canggih desa bisa mengembangkan industri lokal. Dia selalu
berbicara masalah ini dan berharap dana desa yang besar kedepan dapat digunakan
untuk membangun ekonomi lokal, sehingga dia bermimpi bahwa urbanisasi atau
migrasi orang desa bisa ditekan.
Ilustrasi sederhana itu merupakan contoh konkret pembangunan yang
digerakkan oleh desa. Pertama,
pemerintah desa, khususnya kepala desa mengambil prakarsa dan melakukan
konsolidasi gerakan desa membangun ekonomi. Kedua,
pemerintah desa bersama masyarakat melakukan aksi kolektif (kebersamaan)
membangun ekonomi lokal. Ketiga,
kolektivitas itu memanfaatkan dan mengoptimalkan potensi aset lokal yang
tersedia dan tentu layak jual. Keempat,
pengambilan keputusan tentang komoditas, modal, mekanisme, gerakan dan bagi
hasil dilakukan melalui musyawarah desa. Kedepan, dengan dana desa yang lebih
besar, bisa digunakan sebagai sumberdaya investasi bagi desa untuk membangun
ekonomi lokal.
Ekonomi lokal berbasis desa bisa digerakkan oleh para borjuis lokal, dan
juga bisa digerakkan oleh desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa). Menurut
UU Desa, Badan Usaha
Milik Desa, yang selanjutnya disebut BUM Desa, adalah badan usaha yang seluruh
atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset,
jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan
masyarakat Desa.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Desa No. 4/2015 BUMDesa mempunyai sejumlah
karakteristik. Pertama, pembentukan BUMDesa bersifat kondisional, yakni
membutuhkan sejumlah prayarat, yang menjadi dasar kelayakan pembentukan BUMDesa. Kedua, BUMDesa merupakan
usaha desa yang bercirikan kepemilikan kolektif, bukan hanya dimiliki oleh
pemerintah desa, bukan hanya dimiliki masyarakat, bukan juga hanya dimiliki
oleh individu, melainkan menjadi milik pemerintah desa dan masyarakat. Berbeda
dengan koperasi yang dimiliki dan bermanfaat hanya untuk anggotanya, BUMDesa dimiliki dan dimanfaatkan baik
oleh pemerintah desa dan masyarakat secara keseluruhan. Ketiga, mekanisme pembentukan BUMDesa bersifat inklusif, deliberatif
dan partisipatoris. Artinya BUMDesa tidak cukup dibentuk oleh pemerintah desa,
tetapi dibentuk melalui musyawarah desa yang melibatkan berbagai komponan
masyarakat. Secara organisasional musyawarah desa juga dilembagakan sebagai
institusi tertinggi dalam BUMDesa, seperti halnya rapat anggota dalam
koperasi. Keempat, pengelolaan BUMDesa bersifat demokratis dan teknokratis. Dimensi
teknokrasi terlihat dalam bentuk pembagian kerja yang jelas, dimensi demokrasi tidak hanya terlihat pada
komponen musyawarah desa (institusi demokrasi deliberatif) tetapi juga
ditunjukkan pada komponen akuntabilitas. Pemisahan organisasi maupun aset
BUMDes dari pemerintah desa merupakan komponen penting untuk menjaga
akuntabilitas BUMDes.
Ada optimisme tetapi juga ada skeptisisme dalam menyambut kehadiran BUMDes.
Pandangan yang skeptis sungguh risau melihat BUMDes. Kerisauan utama yang
mengemuka adalah ketidakjelasan status hukum (legal standing) BUMDes. Ketika
BUMDes tidak memiliki legal standing yang jelas, maka usaha desa ini tidak bisa
menjadi subyek yang melakukan perbuatan hukum (misalnya meminjam uang di bank
maupun kerjasama bisnis) untuk mengakumulasi modal. Menurut pandangan ini, jika
tidak berstatus hukum, maka BUMDes selamanya akan kerdil dan hanya bergerak di
ranah lokal desa.
Pada waktu pembahasan RUU Desa ada harapan besar untuk menjawab kerisauan
hukum itu. Ada harapan begitu BUMDesa lahir, ia berbadan hukum seperti
koperasi. Namun UU Desa tidak berhasil menjawab harapan ini. UU Desa menegaskan
bahwa BUMDesa legal tetapi tidak berbadan hukum, namun ia bisa memiliki
unit-unit usaha berbadan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Yang
jelas, BUMDesa disiapkan menjadi institusi dan gerakan ekonomi berbasis desa.
Melampaui argumen-argumen hukum itu, kerisauan yang lain tertuju pada
keberlanjutan BUMDesa secara sosial dan ekonomi. LPD di Bali misalnya,
merupakan teladan baik bagi keberlanjutan sosial ekonomi usaha desa. LPD telah
hadir sebagai ikon terkemuka bagi desa adat yang menyumbangkan kamakmuran untuk
krama desa. Karena itu LPD bukan
menjadi sumber kerisauan tentang keberlanjutan sosial ekonomi meskipun LPD
tidak memiliki legal standing yang
jelas. Kerisauan sekarang terletak pada keberlanjutan sosial ekonomi BUMDesa
yang saat ini tengah menjamur di berbagai daerah dan desa. Ada kerisauan:
jangan-jangan BUMDesa akan mati suri pada tahun-tahun mendatang seperti halnya
BUUD maupun KUD yang dibangun secara seragam oleh Orde Baru.
Dari hari ke hari tumbuh BUMDes dari desa ke desa di berbagai
daerah. Sebelum UU Desa lahir telah ada 1.022 BUMDesa yang tercatat oleh
Kemendagri, meskipun belum diketahui secara jelas kinerja mereka. Sebagai
gambaran umum ada sejumlah tipe BUMDesa yang telah tumbuh di desa.
BUMDes Banking
BUMDes yang bertipe banking
atau semacam lembaga keuangan mikro sebenarnya hadir paling awal sebelum hadir
BUMDes tipe-tipe lain, bahkan sebelum istilah BUMDes itu sendiri lahir. Lembaga
Perkreditan Desa (LPD) yang hadir dalam desa adat di Bali merupakan contoh village banking yang terkemuka. Belakangan sejumlah kabupaten membentuk BUMDes LKM secara mudah,
sederhana dan serentak di seluruh desa, dengan tujuan yang seragam: mengurangi
jeratan warga masyarakat dari rentenir sekaligus mempermudah akses kredit bagi
warga masyarakat terutama kaum miskin. Institusi LKM yang prematur ini serupa dengan berbagai
dana proyek dana bergulir yang dijalankan oleh pemerintah seperti SPP PNPM
Mandiri.
BUMDes serving. Selain BUMDes banking, BUMDes
serving mulai tumbuh secara inkremental di banyak desa. Keterbatasan air bersih
dan ketidakmampuan sebagian besar warga mengakses air bersih, mendorong banyak
desa mengelola dan melayani air bersih dengan wadah BUMDes atau PAMDesa.
Pengelolaan
air bersih secara mandiri oleh desa melalui BUMDes itu sebenarnya merupakan
sebuah perubahan yang mengandung pelajaran berharga. Pemerintah,
lembaga-lembaga internasional, LSM maupun CSR perusahaan sudah lama membangun
sarana air bersih yang dekat dengan masyarakat di banyak tempat. Proyek PAMSIMAS, PNPM Mandiri Perdesaan
maupun proyek rekonstruksi pasca bencana juga membangun sarana air bersih di
banyak desa. Pasca proyek pihak pelaksana menyerahkan kepada masyarakat
setempat agar dirawat dan dikelola secara berkelanjutan. Namun berdasarkan
pengamatan kami di berbagai tempat tidak sedikit sarana air bersih yang
dihibahkan ke masyarakat itu terbengkelai dan tidak berfungsi. Mengapa?
Sebagian karena menggunakan perangkat yang mahal sehingga tidak mampu dikelola
secara mandiri dan berkelanjutan oleh masyarakat setempat. Tetapi penyebab
paling besar adalah ketiadaan otoritas dan tatakelola pada kelompok masyarakat
yang mengelola sarana air bersih.
Karena
itu pengelolaan air bersih oleh BUMDes merupakan cara baru, sebuah bentuk
perubahan pengelolaan dari masyarakat yang anonim kepada desa. Kehadiran BUMDes
itu melahirkan otoritas dan tatakelola air bersih yang digerakkan oleh desa.
Kisah ini juga memberikan petunjuk bahwa pengelolaan dan pelayanan air bersih
untuk warga setempat lebih tepat dilembagakan menjadi kewenangan lokal berskala
desa yang diatur dan diurus secara mandiri oleh desa.
BUMDes brokering dan renting
Sebelum ada BUMDes sebenarnya
sudah ada banyak desa yang menjalakan usaha desa dalam bentuk jasa pelayanan
atau jasa perantara seperti pelayanan pembayaran listrik, penyewaan perkakas
rumah tangga, gedung serba guna, traktor, dan juga pasar desa. Ini adalah
bisnis sederhana, bahkan bisa melakukan monopoli, dengan captive market yang
jelas meskipun hanya beroperasi di dalam desa sendiri. Namun dalam banyak kasus
penyewaan traktor juga menjadi bentuk proteksi desa terhadap petani. Di kala
musim tanam, permintaan akan traktor pasti tinggi, dengan harga sewa tinggi
yang dimainkan oleh swasta. Dalam kondisi ini desa hadir menyewakan traktor
kepada petani dengan harga yang sangat terjangkau, bahkan bisa dibayar setelah
panen.
Kecenderungan potret umum dan kinerja BUMDes
Tipe
|
Jenis
usaha
|
Tujuan dan
sifat
|
Kinerja
|
Manfaat
|
Serving
|
Air bersih
|
Memberikan
social benefit, tidak economic profit meskipun memperoleh laba. Ini bisnis
sosial yang sederhana dan tidak terlalu rumit
|
Lancar dan
sehat. Didukung dengan antusias oleh warga. Pasar tidak menjadi problem,
namun sering terkendala problem teknis dan manajerial.
|
·
Memberi
layanan dasar kepada masyarakat, terutama kaum miskin dan perempuan.
·
Pendapatan desa
·
Meningkatkan kualitas kesehatan
|
Banking
|
Simpan
pinjam
|
Memberi
kredit kecil yang lunak dan mudah kepada warga. Umumnya dibentuk secara
serentak dan seragam oleh pemerintah.
|
Sebagian
kecil yang berkembang dan sukses, sebagian besar mati suri (gulung tikar).
|
·
Akses kredit/pinjam yang mudah.
·
Mengurangi jerat rentenir
·
Tetapi manfaat itu hilang jika BUMDes
gulung tikar
|
Brokering
& renting
|
Jasa
pembayaran listik dan penyewaan
|
Meningkatkan
pendapatan desa. Ini merupakan bisnis yang sederhana dan menguntungkan, tidak
terkendala faktor pasar.
|
Berjalan
secara sehat dan memberikan keuntungan secara variatif tergantung skala
ekonominya. Contoh: urban villages
di DIY dapat keuntungan besar dengan bisnis penyewaan
|
Ekonomi
desa semakin bergairah, pendapatan desa meningkat serta meningkatkan kinerja
pembangunan desa. Traktor bahkan menjadi instrumen proteksi bagi petani.
|
Trading
|
Bisnis
saprotan dan kebutuhan pokok serta bisnis hasil pertanian
|
·
Internal desa: melayani kebutuhan
masyarakat setempat
·
Eksternal: menjual hasil pertanian
keluar dan meningkatkan pendapatan.
·
Bisnis internal desa relatif sederhana
serta berskala kecil-lokal, tetapi bisnis eksternal sangat kompleks
|
·
Bisnis internal berjalan dan berkembang
dengan skala kecil.
·
Bisnis eksternal rentan dan mati suri karena
keterbatasan (kualitas, skala, kapasitas, modal, pasar)
|
·
Masyarakat setempat mudah memperoleh
kebutuhan pokok dan saprotan, bisa dengan cara kredit.
·
Bisnis eksternal belum memberikan
manfaat secara signifikan.
|
Holding
|
Desa
wisata
|
Mengonsolidasikan
berbagai jenis usaha lokal yang terkait dengan wisata, guna meningkatkan
pendapatan masyarakat dan PADes. Bisnis ini sangat khas dan prospektif bagi
desa-desa yang memiliki potensi wisata.
|
Bekembang
secara sehat, kokoh dan berkelanjutan.
|
Menggairahkan
perekonomian desa dan membuka lapangan pekerjaan, sekaligus meningkatkan
pendapatan desa dan masyarakat.
|
Sumber:
Sutoro Eko dkk., Membangun BUMDes yang
Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan, Policy Paper FPPD, 2013.
BUMDes trading
BUMDesa yang berdagang kebutuhan pokok dan sarana produksi pertanian mulai
tumbuh di banyak desa. Ini adalah bisnis sederhana, berskala lokal dan
berlingkup internal desa, yakni melayani kebutuhan warga setempat. Sejauh ini belum ada contoh
terkemuka BUMDesatrading yang besar dan sukses. BUMDesa yang berjenis trading ini tidak
mampu mengimbangi capaian bisnis yang digerakkan oleh borjuis lokal yang
memberi cirikhas satu desa satu produk. Dengan kalimat lain tampaknya belum ada
BUMDesa yang secara
gemilang tampil sebagai penanda “satu desa satu produk”. Banyak contoh menunjukkan bahwa kisah sukses
desa industri kulit (Sidoarjo), desa industri meubel (Jepara), desa keramik
(Banyumulek Lombok Barat maupun Kasongan Bantul), desa industri makanan
(Klaten), dan lain-lain, yang tidak diwadahi oleh BUMDesa melainkan digerakkan secara
kolektif para borjuis lokal.
Pengamatan maupun penelitian tentang BUMDesa selalu memunculkan
pertanyaan, mengapa sebagian kecil BUMDesa sehat, sebagian yang lain cukup
sehat dan mengapa sebagian besar BUMDesa mati? Faktor-faktor apa yang mendukung
dan menghambatnya?
Setiap bisnis ekonomi yang dijalankan oleh swasta pada umumnya
sangat tergantung pada faktor-faktor ekonomi (modal, manajerial, kewirausahaan,
teknologi, pasar) semata. Meskipun ada faktor politik tetapi pengaruhnya kecil.
Banyak swasta, bahkan usaha “satu desa sati produk”, yang sukses karena
mengandalkan pilar-pilat ekonomi itu, tanpa harus terganggu oleh faktor politik
dan modal sosial. Sementara bisnis BUMN dan BUMD tidak hanya tergantung pada
faktor-faktor ekonomi, tetapi juga tergantung pada faktor politik dan
tatakelola (governance). Kita sering
mendengar informasi tentang kebiasaan pejabat politik menjadikan BUMN dan BUMD
sebagai “sapi perah” yang membuat perusahaan milik negara/daerah itu menderita
kerugian dan bangkrutan. Kebiasaan “sapi perah” itu disebut sebagai faktor
politik.
BUMDesa tampaknya jauh lebih kompleks daripada bisnis swasta, BUMN
maupun BUMDesa, meskipun BUMDesa sebenarnya merupakan bisnis yang kecil dan
sederhana. Banyak pihak, apalagi para ahli ekonomi, tidak begitu tertarik
berbicara tentang BUMDesa karena skalanya yang kecil, kemampuan yang terbatas,
serta tidak efisien bila dilihat dari sisi manajemen ekonomi. Orang yang
menekuni studi hukum bisnis melihat bahwa BUMDesa tidak terlalu relevan karena
pincang secara hukum, sehingga mereka merekomendasikan rakyat desa membentuk
koperasi yang lebih jelas ketimbang BUMDesa. Sementara pemerintah, terutama
kementerian sektoral, melihat bahwa BUMDesa tidak hanya menghadapi keterbatasan
kapasitas ekonomi, tetapi juga rentan korupsi. Karena itu program-program
pemberdayaan ekonomi yang dijalankan kementerian sektoral cenderung mengabaikan
desa dan BUMDesa, melainkan memberdayakan kelompok-kelompok sektoral, meskipun
pendekatan ini tidak merata dan tidak berlanjut dengan baik.
Pertama, kepemimpinan, manajerial dan
tatakelola (KMT) merupakan faktor kunci pembuka pada setiap jenis BUMDesa. KMT merupakan faktor dasar yang menyokong
kesehatan dan keberlanjutan BUMDesa. Memang KMT tidak serta-merta membuat
BUMDesa menjadi sehat, kokoh dan berkelanjutan, tetapi kalau KMT sangat buruk
maka BUMDesa dengan sangat cepat akan mati suri. Studi Sahrul Aksa (2013)
antara lain menegaskan:
Di kalangan pengelola BUMDesa
(direksi, komisaris, dan badan pengawas) berlum terjadi relasi yang ideal
sebagai kondisi tumbuh-kembangnya BUMDesa. Antara pengurus satu dengan yang
lain masih ada kecurigaan karena tidak terjadi komunikasi yang baik. Demikian
juga problem administrasi keuangan sering menjadi pemicu masalah, padahal bagi
pendamping, kekacauan administrasi keuangan adalah awal kekacauan BUMDesa.Dari
semua persoalan di lingkup pengurus BUMDesa, yang paling serius adalah kualitas
dan kapasitas direktur.
Di sisi lain kepemimpinan merupakan faktor yang rentan, yang
sering mengalami kesurutan karena pergantian kepala desa maupun pengurus BUMDesa. Sebagai faktor dasar, KMT juga belum cukup
menjadi faktor penting bagi pembesaran dan perluasan BUMDesa, sebab pembesaran
dan perluasan BUMDesa sangat tergantung juga dengan skala ekonomi, besaran
modal dan jaringan bisnis.
Kedua, setiap jenis usaha tidak berdiri
sendiri tetapi memiliki kaitan mata rantai dengan sektor lain yang sangat
mempepengaruhi keberlanjutan usaha. Untuk usaha jasa distribusi
air bersih perlu memperhatikan kualitas lingkungan sebagai jaminan
keberlanjutan. Usaha air bersih adalah usaha integrasi dengan lingkungan,
sehingga bila mata rantai ini diputus (melalui gejolak politik di desa) maka
bisnis ini pasti terancam. Bisnis saprotan, sangat tergantung pada transformasi
pola cocok tanam warga. bila tekanan dari luar (supra desa) berupa program
swasembada, biasanya berpengaruh pada tingkat kebutuhan saprotan. Apa lagi bila
transformasi itu gagal, warga petani yang paling dirugikan dan berutang.
Ketiga, keberlanjutan BUMDesa sangat
dipengaruhi oleh skala dan jangkuan usaha.
BUMDesa yang menjalankan bisnis internal (melayani kebutuhan warga
setempat seperti kebutuhan pokok, air bersih, kompos, saprotan) dengan
jangkauan dan berskala lokal, umumnya menghadapi risiko yang rendah sehingga
bisa berjalan sehat dan berkelanjutan.
Tentu dengan catatan bahwa BUMDesa itu dikelola dengan kapasitas
manajerial yang memadai. Sedangkan BUMDesa yang menjalankan bisnis eksternal
(produksi dan distribusi hasil pertanian keluar desa) umumnya rentan dan gulung
tikar karena skala ekonomi yang kecil dan kapasitas ekonomi yang terbatas.
Keempat, BUMDesa yang tumbuh dari
emansipasi lokal jauh lebih kuat dan berkelanjutan ketimbang BUMDesa yang lahir
karena imposisi pemerintah dari atas. Ini sudah dibuktikan di banyak daerah,
baik di Lombok Barat, Dompu, Bantaeng, Gowa, Bandung, Gunungkidul dan
daerah-daerah lain. BUMDesa yang tumbuh sehat, baik, kokoh dan berkelanjutan di
Gunungkidul maupun Bantul karena digerakkan oleh emansipasi lokal, yang
didukung dari belakang oleh pemerintah. Dalam hal ini kehadiran pemerintah
memang sangat krusial. Kehadiran pemerintah memang harus dan sangat diperlukan.
Tetapi kehadiran yang keliru juga bisa berdampak buruk bagi BUMDesa. Pemerintah
daerah umumnya tidak mau disebut gagal meskipun juga tidak berani mengklaim
berhasil secara gemilang. Bantaeng, misalnya, menyampaikan argumen: “Lebih baik
salah dalam berbuat, daripada tidak berbuat sama sekali. Kesalahan bisa
dikoreksi dan diperbaiki”. Argumen ini memang prinsip pembelajaran yang baik.
Namun tetangga Banteng, seperti Takalar dan Jeneponto, masih ragu dengan
BUMDesa Bantaeng, sekaligus tidak mau menjalankan strategi trial and error seperti yang dilakukan Bantaeng. Takalar dan
Jeneponto tetap mencari jalan dan strategi yang terbaik.
BUMDesa yang lahir karena imposisi pemerintah dari atas umumnya
berjalan tidak mulus. Kesan pertama yang muncul dari masyarakat adalah bahwa
BUMDesa adalah proyek pemerintah, seperti halnya proyek-proyek lainnya yang
masuk ke desa, sehingga legitimasi dan daya lekat BUMDesa sangat lemah. Memang
tidak semua BUMDesa hasil imposisi Pemda gagal total. Ada sebagian kecil
BUMDesa yang baik, sehat dan berkelanjutan. BUMDesa yang sukses ini antara lain
ditopang oleh kecepatan transformasi dari BUMDesa sebagai “proyek pemerintah”
menjadi BUMDesa milik desa baik milik pemerintah desa dan milik masyarakat.
BUMDesa milik desa itu artinya diterima dengan baik oleh masyarakat serta
mempunyai daya lekat dengan sistem desa, tradisi berdesa dan modal sosial.
Kelima, tradisi berdesa, yang paralel
dengan kekayaan modal sosial dan modal politik, merupakan faktor yang sangat
berpengaruh terhadap daya tahan dan keberlanjutan BUMDesa. Masyarakat desa di Bali dan DIY misalnya sudah lama mempunyai tradisi
berdesa dengan kuat, yang menempatkan desa sebagai basis modal sosial dan dan
modal politik. Mereka memandang bahwa desa merupakan identitas, basis ikatan
sosial, maupun arena governance dimana pemimpin desa dan warga setempat
mempunyai hubungan saling tergantung (interdependensi) dan inklusif. Desa pada
umumnya memiliki otoritas dan tatakelola yang sudah relatif permanen yang
dipercaya oleh warga masyarakat. Sementara di Sulawesi tradisi berdesa masih
lemah. Karakter administratif masih
melekat kuat pada desa yang belum bisa melebur secara inklusif dengan karakter parokhial
masyarakat setempat. Masyarakat parokhial pada umumnya memiliki modal sosial
yang dangkal, yakni secara eksklusif membangun social bonding berdasarkan garis kekerabatan.
Kami melihat bahwa BUMDesa sedang dalam proses pembelajaran dan
perkembangan; ada yang berhasil dan ada yang gagal. Sisi sukses dan sisi gagal
bagaimanapun telah memberikan pelajaran berharga yang sangat berguna untuk
memperkuat kebijakan dan gerakan membangun BUMDesa ke depan. Sejauh ini ada sejumlah pelajaran berharga
yang bisa kami sajikan berikut ini:
1.
BUMDesa adalah usaha kolektif antara
pemerintah desa dan masyarakat yang bersifat unik, yang berbeda dengan
jenis-jenis usaha lain seperti koperasi, CV, PT maupun BUMN dan BUMDesa. Salah
satu keunikan yang menonjol adalah bahwa BUMDesa bukan hanya bisnis ekonomi
semata, tetapi juga mengandung bisnis sosial. Sejauh ini manfaat ekonomi
BUMDesa relatif lebih kecil daripada manfaat sosial BUMDesa. Sebagai contoh
BUMDesa pelayanan air bersih telah memberikan layanan kepada warga (sebagai
alternatif atas PAM Daerah yang terbatas) yang berdampak terhadap kesehatan,
sekaligus juga menjadi sarana social
bridging dan mengatasi konflik antarwarga yang memperebutkan sumberdaya
air.
2.
Berbagai tipe BUMDesa (mulai dari serving hingga holding) tidak hanya mencerminkan jenis usaha, tetapi juga
mengandung peta jalan dan perkembangan BUMDesa. BUMDesa bertipe serving
merupakan pilihan dan tahapan awal, yang terbukti lebih berhasil daripada
tipe-tipe lain yang lebih advanced.
3. BUMDesa bukan hanya bersandar pada prinsip
teknokrasi-manajerial, tetapi juga mengandung prinsip demokrasi dan modal
sosial seperti prinsip kebersamaan, kepercayaan, kolektivitas, transparansi,
akuntabilitas, partisipasi dan lain-lain.
4. BUMDesa menjadi arena pembelajaran bagi
orang desa dalam banyak hal: menempa kapasitas manajerial, kewirausahaan,
tatakelola yang baik, kepemimpinan,
kepercayaan, dan aksi kolektif. BUMDesa juga menjadi arena bagi orang
desa untuk membangun tradisi berdesa yang inklusif.
5.
BUMDesa dan modal sosial mempunyai
hubungan timbal balik. Di satu sisi BUMDesa yang kokoh dan berkelanjutan
membutuhan modal sosial (kerjasama, solidaritas, kepercayaan, dan lain-lain),
dan di sisi lain BUMDesa juga memupuk (revitalisasi) modal sosial. Dengan
ber-BUMDesa, orang desa tidak hanya terkungkung pada social bonding yang
berbasis kekerabatan dan keagamaan, tetapi mereka harus mengembangkannya ke
jangkauan social bridging dan social linking yang lebih inklusif dan
lebih luas.
6.
BUMDesa dengan konteks politik lokal
mempunyai hubungan timbal balik. BUMDesa sulit berkembang dalam konteks desa
yang bercirikan politik eksklusif, sebaliknya politik inklusif menopang BUMDesa
secara lebih baik. Di sisi lain, dengan ber-BUMDesa, orang-orang desa tengah
belajar membangun politik inklusif, yang paralel dengan membangun modal sosial,
demokrasi dan tradisi berdesa.
7. Kehadiran pemerintah sangat penting tetapi
tidak cukup, bahkan bisa juga keliru. Salah satu pelajaran penting dan
tantangannya adalah bagaimana melakukan transfromasi BUMDesa dari “proyek
pemerintah” menjadi “milik desa”. Konsep “milik
desa” itu mengandung modal sosial, demokrasi, teknokrasi dan tradisi
berdesa yang lekat di dalam sistem desa maupun masyarakat. Segelintir BUMDesa
proyek pemerintah yang sukses karena lancarnya tranformasi menuju “milik desa”
itu.
Sumber : Materi Pembekalan Pendampingan Desa, 2015
Sumber : Materi Pembekalan Pendampingan Desa, 2015
Kami juga menjual dan mempunyai artikel yang lain: