Satu Desa, Satu Rencana, Satu Anggaran



Perencanaan dan penganggaran desa merupakan bagian dari susunan kelembagaan bagi kemandirian desa. Pasal 19 UU No. 6/2014 memang tidak menegaskan bahwa perencanaan dan penganggaran menjadi jenis kewenangan desa, namun secara prinsipil keduanya merupakan kewenangan melekat (atributif) desa. Konsep perencanaan desa sebenarnya merupakan subversi terhadap UU No. 25/2004 (yang tidak mengenal perencanaan desa) dan penganggaran desa melakukan subversi terhadap UU No. 17/2003 (yang tidak mengenal APB Desa). Kedua subversi ini telah dirintis oleh PP No. 72/2005.


Namun konsep perencanaan desa dalam UU No. 6/2014 mengalami kemajuan dan perubahan bila dibandingkan dengan substansi perencanaan dalam PP No. 72/2005. Sebelumnya perencanaan desa merupakan bagian dari perencanaan kabupaten/kota, sehingga makna perencanaan lebih banyak mengusulkan ke atas ketimbang mengambil keputusan lokal. Sekarang perencanaan desa adalah village self planning yang berdiri sendiri dan diputuskan secara mandiri oleh desa. Antara perencanaan desa dan perencanaan daerah saling mengacu agar terjadi interlinkage dan terkonsolidasi dengan baik.

Karena itu  jargon “satu desa, satu rencana dan satu anggaran” merupakan semangat dan perspektif yang menonjol dalam UU Desa. Sejalan dengan prinsip kewenangan asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa diatur dan diurus sendiri oleh desa, perspektif  “satu desa, satu rencana, satu anggaran” dimaksudkan untuk dua hal. Pertama, desa mempunyai hak kewenangan untuk mengambil keputusan tentang perencanaan dan penganggaran secara mandiri, sesuai dengan konteks dan kepentingan masyarakat setempat. Kedua, membentengi imposisi dan mutilasi proyek masuk desa yang datang dari K/L maupun SKPD, yang selama ini membuat desa sebagai outlet atau pasar perencanaan dan penganggaran.

Perspektif  “satu desa, satu rencana, satu anggaran” sebenarnya merupakan evolusi dari praktik “satu desa satu rencana” yang sudah berkembang di berbagai daerah. Para pegiat desa antara lain telah berupaya membangun integrasi antara perencanaan reguler dengan perencanaan PNPM sehingga menjadi sebuah sistem “satu desa satu rencana”; melembagakan perencanaan partisipatoris yang melibatkan berbagai elemen masyarakat secara inklusif termasuk kaum perempuan dan kaum miskin; melembagakan model village self planning dengan mengutamakan pengambilan keputusan di tingkat lokal dengan ditopang oleh pendekatan berbasis aset (asset based approach) atau mengutamakan kekuatan aset yang dimiliki oleh desa sendiri. Komponen yang terakhir itu tidak hanya membuat desa dan masyarakat mengusulkan proyek (baca: perburuan proyek) ke atas melalui mekanisme musrenbang bertingkat, tetapi yang lebih penting adalah membangun harapan dan keyakinan lokal untuk mengambil keputusan lokal dengan memanfaatkan aset yang dimiliki desa.

Perencanaan desa sebagai bentuk keputusan lokal itu merupakan jantung kemandirian desa. Desa mengambil keputusan kolektif yang menjadi dasar pijakan bagi eksistensi desa yang bermanfaat untuk warga. Salah satu keputusan penting yang diambil dalam perencanaan desa adalah alokasi anggaran, khususnya ADD, yang tidak hanya untuk membiayai konsumsi  pemerintah desa, bukan juga hanya untuk membangun prasarana fisik desa, tetapi alokasi untuk investasi manusia dan pengembangan ekonomi lokal yang berorientasi untuk penanggulangan kemiskinan. Di Kabupaten Kupang, misalnya, ada data agregat yang menunjukkan bahwa sejumlah 70% ADD dialokasikan untuk pemberdayaan masyarakat, seperti pengadaan dan perbaikan sarana publik skala kecil, pengadaan sarana prasarana produksi, pengadaan sarana dan prasarana sosial, perbaikan lingkungan dan permukiman, pengadaan teknologi tepat guna, bantuan modal usaha dan investasi desa, lain-lain sesuai kebutuhan desa dan kepentingan masyarakat setempat yang dihasilkan musrenbangdes.

Sumber :  Materi Pembekalan Pendampingan Desa, 2015
Kami juga menjual dan mempunyai artikel yang lain:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar