Desa-desa di kawasan perkebunan dan pertambahan menghadirkan gambaran yang
paradoks. Ada kesan kuat para kepala desa yang kaya, tetapi institusi desa yang dipimpinnya
miskin atau kurang bermanfaat untuk warga. Dalam bahasa yang lain, ada desa
tetapi tidak ada tradisi berdesa. Desa tidak lebih hanya sebagai kampung
halaman, tempat bermukim penduduk dan unit administratif belaka. Sebagai unit
administratif, desa hanya menghadirkan kepala desa dan perangkat desa yang
menjalankan tugas-tugas administratif dari negara: membuat surat keterangan,
surat jalan, surat rekomendasi izin, maupun surat keterangan tanah yang semua
ini mengandung rente ekonomi.
Dalam desa yang miskin tradisi berdesa, perangkat
desa memang tidak sekadar mengejar rente ekonomi, tetapi juga melayani
kebutuhan sosial warga. Namun pelayanan yang paling menonjol adalah sebagai
“pemadam kebakaran”, yakni mengatasi percekcokan suami isteri, pertikaian
warisan, sengketa antarwarga, maupun kasus-kasus serupa, selain juga melayani
upacara kematian, pesta dan lain-lain.
Peran desa dalam mata rantai administrasi dan “pemadam kebakaran”
itu sudah berlangsung lama secara turun-temurun. Para kepala desa dan perangkat
baru biasanya meneruskan kebiasaan yang diwariskan oleh para pendahulunya.
Semua berjalan apa adanya, kurang bermakna, dan kurang inovatif. Karena itu
sangat wajar bila muncul pertanyaan: apa hakekat desa dan apa manfaat desa yang
sejati untuk warga? Di balik pertanyaan ini sebenarnya menghadirkan gugatan
terhadap peran konvensional yang dijalankan oleh desa: buat apa desa kalau
hanya menjalankan tugas administratif dan pemadam kekabaran. Di balik gugatan,
sebenarnya juga ada harapan agar desa berperan dan bermanfaat untuk membangun
ketahanan sosial, memberikan layanan dasar, menanggulangi kemiskinan,
memperbaiki kualitas manusia, serta
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Desa bukan berarti tidak menyelenggarakan pembangunan. Tetapi
pembangunan yang dilaksanakan desa selalu bias fisik: aspalisasi dan
semenisasi. Di desa bukan berarti sepi dari program-program pemberdayaan yang
dijalankan oleh pemerintah supra desa. Di desa ada PNPM Mandiri yang membangun
sarana fisik, PPIP yang membangun sarana fisik lagi, PAMSIMAS yang membangun
sarana air bersih, Desa Siaga yang membangun kesehatan masyarakat dan
lain-lain. Tetapi semua itu hanya pembangunan di desa (membangun desa), bukan
pembangunan desa (desa membangun). Desa hanya menjadi lokasi proyek atau obyek
penerima manfaat, dan kepala desa desa hanya menjadi penonton meskipun dalam setiap
proyek dia diposisikan sebagai fasilitator. Namun ketika proyek-proyek itu
bermasalah atau tidak berbekas, dan kemudian masyarakat menyampaikan komplain
kepada kepala desa, maka sang kepala desa menjawab: itu bukan tanggungjawab
saya.
UU Desa sangat sadar akan kelemahan tradisi
berdesa dan desa yang kurang bermanfaat kepada warga. Karena itu UU Desa
melakukan perubahan terhadap perspektif dan substansi pembangunan desa, yang
tidak hanya berorientasi pada pembangunan fisik, melainkan mengandung empat
orientasi: pelayanan dasar, sarana dan prasarana fisik, pengembangan potensi
ekonomi lokal dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan secara
berkelanjutan. Semua ini menyangkut dengan kebutuhan hidup warga dan
kepentingan masyarakat sehari-hari yang membutuhkan penanganan dan pelayanan
secara dekat dan cepat. Khusus mengenai pelayanan dasar, baik aspirasi para
pihak maupun UU Desa mengamanatkan bahwa desa tidak hanya memberikan supply pelayanan administratif, tetapi
juga mencakup kesehatan, pendidikan dan infrastruktur dasar.
Pelayanan air bersih oleh desa
Indonesia sebenarnya merupakan negara nomor lima
terbesar di dunia dalam ketersediaan air per kapita. Tetapi air itu belum
dikelola secara optimal, dan masih ada puluhan juta warga yang tidak mampu
mengakses air bersih. Perhitungan dengan menggunakan kriteria
MDGs Indonesia untuk air bersih dan data dari sensus tahun 2010, memperlihatkan
bahwa negeri ini harus mencapai tambahan 56,8 juta orang dengan persediaan air bersih
pada tahun 2015. Pada tahun yang sama, dataBappenas
menunjukkan, proporsi rumah tangga dengan akses terhadap air minum layak, baik
diperkotaan maupun pedesaan, hanya sebesar 47,71%. Karena itu setidaknya Indonesia harus mencapai tambahan 36,3 juta orang
yang terlayani air bersih pada tahun 2015.
Meskipun
warga kelas menengah ke atas mampu menyediakan air bersih secara mandiri, namun
pada dasarnya negara mempunyai tanggungjawab menyediakan air bersih untuk
warga. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan penyediaan air bersih, antara
lain mengelola Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sejauh ini telah ada 402
PDAM di kabupaten/kota dari sekitar 500-an kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Dari 402 perusahaan daerah air minum (PDAM), hanya 140-an yang berpredikat sehat dengan jangkauan
pelayanan yang terbatas pada masyarakat perkotaan. Desa-desa pelosok hampir
tidak terjangkau oleh PDAM. Karena itu, pemerintah melalui Kementerian PU
menggelar Program Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS),
untuk membangun sarana air bersih dan sanitasi yang secara langsung dan dekat
bisa melayani masyarakat. PAMSIMAS I telah dilaksanakan di 6.263 desa di 110 kabupaten/kota,
15 provinsi dan kemudian disusul PAMSIMAS II menambah 5.000 desa di sejumlah
124 kabupaten/kota. Rata-rata setiap desa memperoleh Bantuan Langsung
Masyarakat (BLM) sebesar Rp 275 juta.
Semua pihak berharap bahwa sarana
air bersih warisan PAMSIMAS yang diberikan kepada masyarakat itu bertahan awet
dan berkelanjutan. Namun kami juga sangsi, sebab pendekatan berbasis masyarakat
ini mengabaikan tradisi berdesa yang cenderung meninggalkan pemerintah desa,
sehingga kepemilikan desa atas sarana air bersih cenderung lemah. Jika proyek
dari atas ini tidak diterima dan tidak menyatu dengan sistem desa, maka sulit
dipertanggungjawabkan, siapa pemilik otoritas dan akuntabilitasnya.
Karena itu penyediaan air bersih
berbasis desa bisa menjadi alternatif atas pendekatan berbasis pemerintah
(PDAM) dan juga berbasis masyarakat (PAMSIMAS). Meskipun penyediaan air bersih
merupakan kewenangan pemerintah supradesa, tetapi pelayanan yang bersifat dan
berskala lokal (dengan teknologi sederhana, sumur yang relatif kecil, dan
jangkauan terbatas dalam lingkup desa), telah ditetapkan oleh UU No. 6/2014 sebagai
kewenangan desa. Di sis lain, meskipun PAMSIMAS mengklaim berbasis masyarakat,
namun kebijakan, kewenangan dan pendanaan tetap berasal dari pemerintah. Ini
adalah contoh proyek imposisi pemerintah pusat yang menyelenggarakan kewenangan
lokal berskala desa.
Penyediaan air bersih berbasis
desa pada dasarnya perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pengelolaan,
pelayanan, dan perawatan diselenggarakan oleh desa. Dengan kalimat lain,
pengadaan penyediaan air bersih dilembagakan dalam RPJMDes, RKPDes dan APBDes yang
diputuskan secara partisipatif dan kolektif oleh pemerintah desa beserta
masyarakat. BUMDes air bersih (atau PAM Desa) menjadi salah satu alternatif
lembaga desa yang mengelola dan melayani air bersih untuk warga.
Desa
menggerakkan dan melayani kesehatan
Masyarakat sudah semakin akrab
dengan sebutan bidan desa, Poliklinik Bersalin Desa, Pos Kesehatan Desa dan
Posyandu. Semua itu merupakan bentuk sarana prasana pelayanan kesehatan yang
ada di desa, meskipun selama ini otoritas dan akuntabilitas atas sarana prasarana
kesehatan itu belum diletakkan di tangan desa. Untuk memastikan otoritas dan
akuntabilitas, UU Desa memandatkan bahwa Poliklinik Bersalin Desa, Pos
Kesehatan Desa dan Posyandu merupakan jenis kewenangan lokal berskala desa di
sektor kesehatan. Desa juga berwenang mengangkat bidan desa atau perawat desa
sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kemampuan keuangan desa, tentu dengan
mengikuti persyaratan dan prosedur yang ditetapkan oleh rezim kesehatan.
Meskipun Poliklinik Bersalin Desa, Pos Kesehatan Desa dan Posyandu menjadi
otoritas desa, tetapi tidak sepenuhnya menjadi milik desa. Tetap ada pola
“urusan bersama” antara desa dengan supra desa untuk mengelola tiga jenis
institusi pelayanan kesehatan tersebut. Perencanaan, pengelolaan dan pendanaan
atas Poliklinik Bersalin Desa, Pos Kesehatan Desa dan Posyandu merupakan
kewenangan desa, sedangkan pembinaan teknis merupakan kewenangan dinas
kesehatan.
Peningkatan kesehatan warga tentu tidak cukup hanya dilihat dari
sisi kelembagaan itu. Kesehatan berbasis desa mengandung kewenangan, kebijakan,
gerakan, kelembagaan, sumberdaya manusia dan pelayanan yang melibatkan aksi
kolektif antara pemerintah desa dan masyarakat. Dari hari ke hari telah
banyak desa inovatif yang memberikan contoh tentang sistem desa dan aksi kolektif melakukan
konsolidasi dan institusionalisasi kewenangan, kebijakan, gerakan, kelembagaan,
sumberdaya manusia dan pelayanan di bidang kesehatan. Kebijakan desa merupakan
pintu masuk dan pengikat bersama pelayanan kesehatan. Desa mengambil inisiatif
dan keputusan Peraturan Desa tentang kesehatan yang Perdes tentang Kesehatan terutama mengatur
tentang Dana Solidaritas Ibu Bersalin (Dasolin), Tabungan Ibu Bersalin
(Tabulin), Kesehatan Ibu dan Anak, Posyandu dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS).
Sumber : Materi Pembekalan Pendampingan Desa, 2015
Sumber : Materi Pembekalan Pendampingan Desa, 2015
Kami juga menjual dan mempunyai artikel yang lain: