Kewenangan Desa, Prakarsa Lokal, Kewenangan Lokal Berskala Desa



Diskresi merupakan konsep kunci otonomi daerah, yakni keleluasaan pemerintah daerah untuk mengambil keputusan sesuai dengan konteks, tantangan dan kebutuhan daerah. Sementara konsep kunci dalam kemandirian desa adalah prakarsa lokal. Dalam UU Desa, prakarsa ini merupakan kata kunci yang banyak muncul dalam UU Desa. Prakarsa ini dilembagakan dalam bentuk kewenangan desa.
Desa, sebagai kesatuan masyarakat hukum atau badan hukum publik juga memiliki kewenangan meskipun tidak seluas kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah.
Kewenangan desa adalah hak desa untuk mengatur, mengurus dan bertanggung jawab  atas urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Apa yang dimaksud dengan ”mengatur” dan ”mengurus” serta apa yang dimaksud dengan ”urusan pemerintahan” dan ”kepentingan masyarakat setempat”.  Mengatur dan mengurus mempunyai beberapa makna:

1.      Mengeluarkan dan menjalankan aturan main (peraturan), tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sehingga mengikat kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Misalnya desa menetapkan besaran jasa pelayanan air minum yang dikelola BUMDes Air Bersih; atau desa menetapkan larangan truck besar masuk ke jalan kampung.
2.      Bertanggungjawab merencanakan, menganggarkan dan menjalankan kegiatan pembangunan atau pelayanan, serta menyelesaikan masalah yang muncul. Sebagai contoh, karena Posyandu merupakan kewenangan lokal, maka desa bertanggungjawab melembagakan Posyandu ke dalam perencanaan desa, sekaligus menganggarkan untuk kebutuhan Posyandu, termasuk menyelesaikan masalah yang muncul.
3.      Memutuskan dan menjalankan alokasi sumberdaya (baik dana, peralatan maupun personil) dalam kegiatan pembangunan atau pelayanan, termasuk membagi sumberdaya kepada penerima manfaat. Sebagai contoh, desa memutuskan alokasi dana sekian rupiah dan menetapkan personil pengelola Posyandu. Contoh lain: desa memberikan beasiswa sekolah bagi anak-anak desa yang pintar (berprestasi) tetapi tidak mampu (miskin).
4.      Mengurus berarti menjalankan, melaksanakan, maupun merawat public goods yang telah diatur tersebut. Implementasi pembangunan maupun pelayanan publik merupakan bentuk konkret mengurus.
 
Jika desa berwenang mengatur, dengan sendirinya desa juga mengurus terhadap hal-hal yang diatur. Hal ini berkaitan dengan kekuasaan mengatur dan mengurus terhadap aset atau ”hak milik” desa. Namun demikian, konsep mengurus tidak mesti merupakan konsekuensi dari kuasa mengatur atas ”hak milik” tersebut. Mengurus, dalam hal ini, berarti mengelola atau menjalankan urusan yang diberikan  oleh pemerintah kepada desa, atau bisa juga disebut sebagai ”hak kelola” desa. Hutan desa dapat diambil sebagai contoh. Hutan desa merupakan ”hak milik” negara. Kementerian Kehutanan merupakan institusi negara yang mempunyai kuasa/kewenangan mengatur hutan desa. Desa dapat mengelola atau mengurus hutan desa tersebut dengan cara harus memperoleh izin dari Kementerian Kehutanan. Dengan kalimat lain, Kementerian Kehutanan ”mengatur” hutan desa sebagai ”hak milik” negara, sedangkan desa berhak ”mengurus” hutan desa sebagai ”hak kelola” desa. Sebagai pemegang ”hak kelola” hutan desa itu, desa berhak mengambil hasil hutan dan mengatur pada skala desa, yakni pembagian kepada masyarakat maupun perawatan hutan, sekaligus juga mematuhi ketentuan aturan yang dibuat oleh Kementerian Kehutanan. 

Kewenangan mengatur dan mengurus tersebut ditujukan kepada urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Urusan pemerintahan pada dasarnya mencakup tiga fungsi yang dijalankan oleh pemerintah, yaitu: pengaturan (public regulation), pelayanan publik (public goods) dan pemberdayaan masyarakat (empowerment). Pengaturan merupakan kegiatan mengatur (membuat peraturan tentang perintah yang harus dijalankan dan larangan yang harus dihindari) tentang pemanfaatan barang-barang publik seperti pendidikan, kesehatan, jalan, laut, sungai, hutan, kebun, air, udara, uang dan lain-lain. Sedangkan pemberdayaan adalah fungsi pemerintah memperkuat kemampuan masyarakat  dalam mengakses atau memanfaatkan barang-barang publik tersebut serta mengembangkan potensi dan aset yang dimiliki masyarakat.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, apa yang disebut urusan pemerintahan tersebut sudah diatur dan diurus oleh pemerintah, bahkan sudah dibagi habis kepada pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan UU No. 32/2004 dan UU No. 23/2014 dan undang-undang sektoral lainnya. Apa yang disebut kepentingan masyarakat setempat sebenarnya juga tercakup sebagai urusan pemerintahan. Tetapi ada perbedaan khusus antara urusan pemerintahan dengan kepentingan masyarakat setempat. Urusan pemerintahan berkaitan dengan pelayanan publik kepada warga yang sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Sementara kepentingan masyarakat setempat adalah kebutuhan bersama masyarakat yang terkait dengan penghidupan dan kehidupan sehari-hari masyarakat, muncul dari prakarsa masyarakat, berskala dan bersifat lokal (setempat), dan terkadang belum tercakup dalam peraturan dan kebijakan pemerintah.

Ada banyak contoh kepentingan masyarakat setempat. Sungai yang melintasi antardesa merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Tetapi masyarakat beberapa desa di tepian sungai itu mempunyai kebutuhan menangkap air sungai untuk pengairan sawah dan pengembangan perikanan darat. Kemudian beberapa desa mengambil prakarsa untuk menangkap (mengalirkan) air sungai itu dengan persetujuan bupati. Jadilah saluran air yang digunakan masyarakat untuk mengairi sawah dan kolam ikan darat. Karena itu menangkap air sungai beserta pengaturannya merupakan kepentingan masyarakat setempat yang menjadi kewenangan desa.

Contoh lain lagi adalah penyediaan air bersih. Menurut peraturan, penyediaan air bersih merupakan kewenangan dan tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota. Setiap kabupaten/kota di Indonesia pada umumnya memiliki Perusahaan Air Minum (PAM) sebagai bentuk bisnis sosial untuk melayani kebutuhan air bersih. Namun PAM Daerah pada umumnya hanya mampu menjangkau di kawasan perkotaan, yang tidak mampu menjangkau ke pelosok desa. Warga desa yang mampu umumnya menyediakan air bersih dengan membuat sumur sendiri. Sementara desa-desa yang kesulitan air, atau warga yang kurang mampu, mengalami keterbatasan dalam memanfaatkan air bersih. Meskipun demikian tetap ada banyak desa yang memiliki sumber mata air sebagai sumberdaya milik bersama, yang bisa dimanfaatkan untuk menyediakan air bersih bagi masyarakat. Kondisi ini yang mendorong prakarsa masyarakat untuk menyediakan air bersih secara mandiri dengan memanfaatkan sumber air yang tersedia dan menggunakan teknologi tepat guna. Inilah yang disebut sebagai kepentingan masyarakat setempat.

Karena kedudukan, bentuk dan sifat desa berbeda dengan pemerintah daerah, maka kewenangan ”mengatur dan mengurus” yang dimiliki desa sangat berbeda dengan kewenangan pemerintah daerah. UU No. 6/2014 memang tidak memuat norma yang tersurat tentang prinsip dan ketentuan tentang kewenangan desa. Namun di balik jenis-jenis kewenangan yang tersurat, ada makna dan nalar yang dapat dipahami. Berbeda dengan kewenangan pemerintah, ada beberapa prinsip penting yang terkandung dalam kewenangan desa:

1.      Baik kewenangan asal usul maupun kewenangan lokal bukanlah kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah, bukan juga merupakan sisa (residu) yang dilimpahkan oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana pernah diatur dalam UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005. Sesuai dengan asas rekognisi dan subsidiaritas, kedua jenis kewenangan itu diakui dan ditetapkan langsung oleh undang-undang dan dijabarkan oleh peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah dalam ini bukanlah perintah yang absolut melainkan sebagai pandu arah yang di dalamnya akan membuat daftar positif (positive list), dan kemudian menentukan pilihan atas positive list itu dan ditetapkan dengan peraturan desa sebagai kewenangan desa.
2.      Sebagai konsekuensi desa sebagai masyarakat yang berpemerintahan (self governing community), kewenangan desa yang berbentuk mengatur hanya terbatas pada pengaturan kepentingan lokal dan masyarakat setempat dalam batas-batas wilayah administrasi desa. Mengatur dalam hal ini bukan dalam bentuk mengeluarkan izin  baik kepada warga maupun kepada pihak luar seperti investor, melainkan dalam bentuk keputusan alokatif kepada masyarakat, seperti alokasi anggaran dalam APBDes, alokasi air kepada warga, dan lain-lain.  Desa tidak bisa memberikan izin mendirikan bangunan, izin pertambangan, izin eksploitasi air untuk kepentingan bisnis dan sebagainya.
3.      Kewenangan desa lebih banyak mengurus, terutama yang berorientasi kepada pelayanan warga dan pemberdayaan masyarakat. Sebagai contoh desa melayani dan juga membiayai kegiatan kelompok tani, melatih kader perempuan, membiayai Posyandu, mengembangkan hutan rakyat bersama masyarakat, membikin bagan ikan untuk kepentingan nelayan, dan sebagainya.
4.      Selain mengatur dan mengurus, desa dapat mengakses urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota untuk dimanfaatkan memenuhi kepentingan masyarakat. Selain contoh di atas tentang beberapa desa menangkap air sungai Desa dapat mengakses dan memanfaatkan lahan negara berskala kecil (yang tidak termanfaatkan atau tidak bertuan) untuk memenuhi kepentingan masyarakat setempat. Lahan sisa proyek pembangunan, tanggul dan bantaran sungai, maupun tepian jalan kabupaten/kota merupakan contoh konkret. Desa dapat memanfaatkan dan menanam pohon di atas lahan itu dengan cara mengusulkan dan memperoleh izin dari bupati/walikota.  

Prinsip-prinsip itu dapat digunakan untuk memahami jenis-jenis kewenangan desa yang tertulis secara eksplisit dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Ada perubahan pengaturan tentang kewenangan desa antara UU No. 32/2004 dengan UU No. 6/2014. Pertama, UU No. 32/2004 menegaskan urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan asal-usul desa, sedangkan UU No. 6/2014 menyatakan kewenangan beradasarkan hak asal-usul. Pada dasarnya kedua pengaturan ini mengandung isi yang sama, hanya saja UU No. 32/2004 secara tersurat membatasi pada urusan pemerintahan. Kedua, UU No. 32/2004 menyatakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, sedangkan UU No. 6/2014 menegaskan kewenangan lokal berskala desa. Jenis kewenangan kedua inilah yang membedakan secara jelas dan tegas antara kedua UU tersebut.

Tabel 3.2
Kewenangan desa menurut UU No. 32/2004 dan UU No. 6/2014

UU No. 32/2004
UU No. 6/2014
Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa
Kewenangan berdasarkan hak asal usul
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang
diserahkan pengaturannya kepada desa
Kewenangan lokal berskala Desa
Tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau
pemerintah kabupaten/kota
Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangperundangan
diserahkan kepada desa
Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan


Kewenangan desa sebenarnya tidak hanya mencakup empat butir besar tersebut. Ada satu jenis kewenangan lagi yang dimiliki oleh desa, yaitu kewenangan melekat atau sering disebut sebagai kewenangan atributif yang tidak tersurat dalam UU No. 6/2014. Sebagai organisasi pemerintahan, desa memiliki sejumlah kewenangan melekat (atributif) tanpa harus disebutkan secara tersurat (eksplisit) dalam daftar kewenangan desa. Ada sejumlah kewenangan melekat milik desa yang sudah dimandatkan oleh UU No. 6/2014, yakni:
a.       Memilih kepala desa dan menyelenggarakan pemilihan kepala desa.
b.      Membentuk dan menetapkan susunan dan personil perangkat desa.Menyelenggarakan musyawarah desa.
c.       Menyusun dan menetapkan perencanaan desa.Menyusun, menetapkan dan melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
d.      Menyusun, menetapkan dan melaksanakan peraturan desa.
e.       Membentuk dan membina lembaga-lembaga kemasyarakatan maupun lembaga adat.
f.        Membentuk dan menjalankan Badan UsahaMilik Desa (BUMDes).


Kewenangan atau Hak Asal-usul
Kewenangan/hak asal-usul sering disebut juga sebagai “hak purba”, “hak tradisional”, “hak bawaan” atau “hak asli”. Semua istilah itu memiliki kesamaan, yang pada dasarnya mencakup dua pengertian sekaligus. Pertama, hak-hak asli masa lalu yang telah ada sebelum lahir NKRI pada tahun 1945 dan tetap dibawa dan dijalankan oleh desa setelah lahir NKRI sampai sekarang. Tanah bengkok di Jawa maupun tanah ulayat/adat di Luar Jawa merupakan contoh paling nyata hak asli/asal-usul itu, yang dimiliki oleh desa sebelum lahir NKRI dan tetap dibawa menjadi menjadi milik desa sesudah lahir NKRI sampai sekarang.

Kedua,  hak-hak asli yang muncul dari prakarsa desa yang bersangkutan maupun prakarsa masyarakat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.  Pasar desa maupun tambatan perahu yang dibangun atas prakarsa desa juga disebut sebagai contoh lain hak asal-usul desa.

Bentuk nyata tindakan yag tergolong dalam kewenangan atau hak asal-usul memang sangat beragam di daerah. Tetapi secara umum hak asal-usul desa mencakup:
a.       Mengatur dan mengurus tanah desa atau tanah ulayat adat desa.
b.      Menerapkan susunan asli dalam pemerintahan desa.
c.       Melestarikan adat-istiadat, lembaga, pranata dan kearifan lokal.
d.      Menyelesaikan sengketa dengan mekanisme adat setempat.

Khusus kewenangan asal-usul dalam Desa Adat, Pasal 103 UU No. 6/2014 menegaskan sebagai berikut:

a.       pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli;
b.      pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;
c.       pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;
d.      penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
e.       penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f.        pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan
g.       pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.


Susunan asli merupakan kewenangan asal-usul yang terkait dengan nomenklatur dan institusi atau organisasi desa. Sebutan lokal untuk desa (seperi pakraman, gampong, banua, nagari, lembang, kampung), sebutan untuk musyawarah (Kerapatan di Sumbar, Kombongan di Toraja, Paruman di Bali, Gawe Rapagh di Lombok, Ssaniri di Maluku  maupun beragam sebutan untuk perangkat desa (kewang, pecalang, jogoboyo, kebayan, carik, dan sebagainya) tidak hanya bermakna nomenklatur, melainkan mengandung pengetahuan, nilai dan jati diri masyarakat desa. Orang Lombok tidak begitu memahami musrenbang, tetapi mereka langsung paham jika disebut dengan gawe rapah. Demikian juga, sebutan asli perangkat (kebayan, kepetengan, jogoboyo) di Jawa jauh lebih jelas dipahami dan operasional ketimbang sebutan kaur atau kasi.

Tanah desa merupakan hak asal-usul desa yang paling vital, sebab tanah merupakan aset (kekayaan) yang menjadi sumber penghidupan dan kehidupan bagi desa dan masyarakat. Negara memberikan pengakuan dan penghormatan (rekognisi) terhadap hak asal-usul desa. Negara tidak boleh melakukan campur tangan atau mengambil alih terhadap hak asal-usul desa, tetapi dapat melakukan pembinaan atas pengaturan dan pengelolaan hak usul serta memberikan perlindungan (proteksi) untuk menjaga kelestarian dan optimalisasi pemanfataan. Sebagai contoh hak asal-usul adalah tanah desa, dimana desa mempunyai kewenangan penuh mengatur dan mengurusnya. Tetapi tidak mustahil kepala desa melakukan penyalahgunaan kewenangan, misalnya menjual tanah desa kepada pihak ketiga sehingga merugikan desa dan masyarakat. Untuk itu pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri No. 4/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa yang memberikan pedoman pemanfataan sekaligus juga memberikan perlindungan. Pasal 15 misalnya, menegaskan bahwa terhadap kekayaan desa yang berupa tanah desa tidak diperbolehkan dilakukan pelepasan hak kepemilikan kepada pihak lain, kecuali diperlukan untuk kepentingan umum. Ketentuan ini bermakna sebagai perlindungan dan pelestarian. Tanah desa tetap bisa dilepas hanya untuk kepentingan umum misalnya untuk membangun sekolah, rumah sakit, kantor pemerintah, jalan, tempat ibadah dan lain-lain. Jika ada uang ganti rugi atas pelepasan tanah desa, maka uang harus digunakan untuk membeli tanah lain yang lebih baik dan berlokasi di desa setempat. Kepala Desa berwenang mengeluarkan keputusan untuk pelepasan hak atas tanah desa tersebut, namun pemerintah memberikan batasan dan perlindungan, dengan menegaskan bahwa Keputusan Kepala Desa bisa diterbitkan setelah mendapat persetujuan BPD dan musyawarah dea dan mendapat ijin tertulis dari Bupati/Walikota dan Gubernur. Ketentuan ini memperkuat peran perlindungan yang dilakukan pemerintah terhadap hak asal-usul desa, guna menjaga kelestarian sekaligus menghindari penyalahgunaan wewenang kepala desa. 

Jika tanah merupakan sumberdaya ekonomi bagi desa,  maka adat, lembaga dan pratana lokal, dan kearifan lokal merupakan sumberdaya sosial budaya bagi desa. Komponen sosial budaya inilah yang membedakan desa dengan daerah, sekaligus membentuk desa sebagai “pemerintahan masyarakat” yang menyatu dengan kehidupan sosial budaya masyarakat setempat. Pranata dan kearifan lokal memang sangat beragam, tetapi secara umum mengutamakan prinsip keseimbangan, kecukupan dan keberlanjutan. Prinsip keseimbangan mengajarkan tentang harmoni yang seimbang dalam hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan. Prinsip kecukupan dan keberlanjutan menjadi nilai dasar dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pranata lokal mengajarkan bahwa setiap jenis sumberdaya alam (laut, sungai, air, hutan dan sebagainya) dikelola bersama untuk kepentingan bersama; juga mengatur masyarakat untuk memanfaatkan berbagai sumberdaya alam secukupnya, atau melarang setiap orang berbuat serakah mengambil sumberdaya alam secara berlebihan. Kecukupan itu menjadi dasar bagi keberlanjutan, artinya sumberdaya alam yang tersedia tidak boleh dihabiskan secara serakah untuk  hari ini, tetapi juga harus diwariskan secara terus-menerus kepada anak cucu generasi mendatang.

Dalam ranah kewenangan asal-usul, konservasi dan revitalisasi kearifan lokal yang dilakukan desa, merupakan contoh yang paling terkemuka. Kearifan lokal mengandung pranata lokal atau sistem norma yang mengejawantahkan nilai-nilai, asas, struktur, kelembagaan, mekanisme, dan religi yang tumbuh, berkembang, dan dianut masyarakat lokal, dalam fungsinya sebagai instrument untuk menjaga keteraturan interaksi antar warga masyarakat (social order), keteraturan hubungan dengan sang pencipta dan roh-roh yang dipercaya memiliki kekuatan supranatural (spiritual order), dan menjaga keteraturan perilaku masyarakat dengan alam lingkungan atau ecological order (Rachmad Syafa’at, Saafroedin Bahar, I Nyoman Nurjaya, 2008).


Di Bali kita mengenal konsep Tri Hita Karana yang muncul dari prakarsa adat pada tahun 1966. Konsep kosmologi Tri Hita Karana merupakan falsafah hidup tangguh. Falsafah tersebut memiliki konsep yang dapat melestarikan keanekaragaman budaya dan lingkungan di tengah hantaman globalisasi. Hakikat Ttri Hita Karana mencakup hubungan sesama manusia (pawongan), hubungan manusia dengan alam dan lingkungan (palemahan), dan hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan). Setiap hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek sekelilingnya. Prinsip pelaksanaannya harus seimbang, selaras antara satu dan lainnya. Apabila keseimbangan tercapai, manusia akan hidup dengan menghindari segala tindakan buruk. Kehidupan akan seimbang, tenteram, dan damai.


Kewenangan lokal berskala desa 
Kewenangan lokal terkait dengan kepentingan masyarakat setempat yang sudah dijalankan oleh desa atau mampu dijalankan oleh desa, karena muncul dari prakarsa masyarakat. Dengan kalimat lain, kewenangan lokal adalah kewenangan yang lahir karena prakarsa dari desa sesuai dengan kemampuan, kebutuhan dan kondisi lokal desa. Kewenangan yang terkait dengan kepentingan masyarakat ini mempunyai cakupan yang relatif kecil dalam lingkup desa, yang berkaitan sangat dekat dengan kebutuhan hidup sehari-hari warga desa, dan tidak mempunyai dampak keluar (eksternalitas) dan kebijakan makro yang luas.

Jenis kewenangan lokal berskala desa ini merupakan turunan dari konsep subsidiaritas,  yang berarti bahwa baik masalah maupun urusan berskala lokal yang sangat dekat dengan masyarakat sebaik mungkin diputuskan dan diselesaikan oleh organisasi lokal (dalam hal ini adalah desa), tanpa harus ditangani oleh organisasi yang lebih tinggi. Menutut konsep subsidiaritas,  urusan yang terkait dengan kepentingan masyarakat setempat atas prakarsa desa dan masyarakat setempat, disebut sebagai kewenangan lokal berskala desa.

Daftar positif kewenangan lokal berskala desa
(sudah diatur dalam Peraturan Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi No. 1/2015)

No
Mandat pembangunan
Daftar kewenangan lokal
1
Pelayanan dasar
Posyandu, penyediaan air bersih, sanggar belajar dan seni, perpustakaan desa, poliklinik desa.
2
Sarana dan prasarana
Jalan desa, jalan usaha tani, embung desa, rumah ibadah, sanitasi dan drainase, irigasi tersier, dan lain-lain.
3
Ekonomi lokal
Pasar desa, usaha kecil berbasis desa, karamba ikan, lumbung pangan,  tambatan perahu, wisata desa,  kios, rumah potong hewan dan tempat pelelangan ikan desa, dan lain-lain.
4
SDA dan lingkungan
Hutan dan kebun rakyat, hutan bakau, dll.

Penjelasan UU No. 6/2014 menegaskan “kewenangan lokal berskala Desa” adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan prakasa masyarakat Desa, antara lain tambatan perahu, pasar Desa, tempat pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan terpadu, sanggar seni dan belajar, serta perpustakaan Desa, embung Desa, dan jalan Desa. Berbagai jenis kewenangan lokal ini merupakan contoh konkret. Namun kewenangan lokal tidak terbatas pada contoh itu, melainkan sangat terbuka dan bisa berkembang lebih banyak sesuai dengan konteks lokal dan prakarsa masyarakat.

Daftar positif kewenangan desa juga bisa dijabarkan secara sektoral. Kewenanganlokal desa secara sektoral ini meliputi dimensi kelembagaan, infastruktur, komoditas, modal dan pengembangan. Pada sektor pertanian misalnya, desa mempunyai kewenangan mengembangkan dan membina kelompok tani, pelatihan bagi petani, menyediakan infrastruktur pertanian berskala desa, penyediaan anggaran untuk modal, pengembangan benih, konsolidasi lahan, pemilihan bibit unggul, sistem tanam, pengembangan teknologi tepat guna, maupun diversifikasi usaha tani.

Pelaksanaan kewenangan lokal tersebut berdampak terhadap masuknya program-program pemerintah ke ranah desa. Pasal 20 UU No. 6/2014 menegaskan bahwa pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b diatur dan diurus oleh Desa. Pasal ini terkait dengan Pasal 81 ayat (4): “Pembangunan lokal berskala Desa dilaksanakan sendiri oleh Desa” dan ayat (5): “Pelaksanaan program sektoral yang masuk ke Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa untuk diintegrasikan dengan Pembangunan Desa”.

Rangkaian pasal itu menegaskan bahwa kewenangan lokal bukanlah kewenangan pemerintah supradesa (termasuk kementerian sektoral) melainkan menjadi kewenangan desa. Penegasan ini disampaikan oleh UU No. 6/2014 karena selama ini hampir setiap kementerian sektoral memiliki proyek masuk desa yang membawa perencanaan, birokrasi, pendekatan, bantuan dan membangun kelembagaan lokal di ranah desa. Ada desa mandiri energi (ESDM), pengembangan usaha agribisnis perdesaan (Pertanian), desa siaga (Kesehatan),  program pembangunan infrastruktur perdesaan (PU), pamsimas (PU), desa prima (Pemberdayaan Perempuan dan Anak), desa produktif (Nakertrans), satu desa satu produk (Koperasi dan UMKM), desa berketahanan sosial (Sosial), program keluarga harapan (Sosial) dan lain-lain. Semua itu adalah kewenangan lokal berskala desa yang dimandatkan oleh UU No. 6/2014 untuk diatur dan diurus oleh desa.

Namun bukan berarti kementerian sektoral tidak boleh masuk ke desa. Tentu sifat bersama (concurrent)  kepentingan masyarakat setempat dengan urusan pemerintahan tidak bisa dihindari. Karena itu dibutuhkan pembagian kerja dan sinergi. Kelembagaan, perencanaan, penganggaran dan pelayanan merupakan otoritas dan akuntabilitas desa, sementara pembinaan teknis (termasuk inovasi ilmu dan teknologi) merupakan domain Kementerian/Lembaga (K/L) atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) teknis. Sebagai contoh desa mempunyai kewenangan lokal untuk mengembangkan dan memberdayakan kelompok tani serta merencanan dan menganggarkan kepentingan petani. Sedangkan K/L maupun SKPD pertanian melakukan pembinaan dan dukungan terhadap inovasi teknologi pertanian.

Kewenangan Penugasan 
Penugasan, seperti halnya tugas pembantuan, tidak bermakna pengaturan tentang penyerahan dan/atau pelimpahan kewenangan secara permanen yang dirumuskan dalam peraturan pemerintah, peraturan menteri maupun peraturan daerah. Presiden, Menteri atau Kepala Lembaga, Gubernur maupun Bupati/Walikota sewaktu-waktu dapat memberikan penugasan kepada desa, dengan memberi “surat tugas” kepada kepala desa, untuk membantu penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Pemberi tugas mempunyai kewenangan dan tanggungjawab, sementara desa berposisi mengurus dan membantu tugas yang diberikan. Atas tugas itu pemberi tugas menyertakan biaya kepada desa. Penugasan semacam ini didasarkan pada beberapa pertimbangan: (a) pemerintah menghadapi keterbatasan sumberdaya untuk menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan yang menjangkau ke seluruh pelosok masyarakat dan setiap rumah tangga; (b) desa lebih dekat, tahu dan mampu menjangkau pelayanan kepada masyarakat; (c) pelaksanaan tugas ke level bawah lebih efisien (berbiaya murah) dan efektif (tepat sasaran) jika dilakukan oleh desa daripada dilakukan sendiri oleh aparat pemerintah.

Jenis penugasan ini kepada desa begitu banyak seperti penerbitan berbagai surat keterangan dan pengantar, surat keterangan hak atas tanah, memberikan rekomendasi izin (pertambangan, usaha, perkebunan, hutan, pemanfaatan air bawah tanah, perumahan, perikanan, dan masih banyak lagi), mamfasilitasi penyediaan lahan untuk fasilitas publik, membentuk panitia pemungutan suara dan tempat pemungutan suara dalam pemilihan umum, distribusi beras miskin dan pupuk bersubsidi, memfasilitasi kampanye/sosialisasi antinarkoba dan HIV/AIDS,  membantu atau memfasilitasi kelembagaan lokal seperti kelompok tani, membantu pemberantasan wabah penyakit, membantu pengiriman surat, dan lain-lain. Tabel 3.4 memberikan contoh penugasan pemerintah kepada desa.

Contoh penugasan kepada desa

No
Bidang
Tugas
1
Pertanian
·         Mengurus balai benih yang ada di desa;
·         Pemasyarakatan penggunaan alat mesin pertanian dan perikanan;
·         Mengurus peredaran dan penggunaan pupuk organik dan pertisida dengan berpedoman pada petunjuk teknis Kabupaten/Kota;
·         Memfasilitasi modal usaha tani dan perikanan;
·         Pemasyarakatan penggunaan benih unggul pertanian dan perikanan;
·         Pemberian rekomendasi izin usaha penangkar benih pertanian dan perikanan;
·         Kampanye benih unggul pertanian dan perkebunan;
·         Membantu penyediaan benih unggul pertanian dan perikanan;
·         Rekomendasi pemberian izin pengelolaan perlebahan non budidaya;
·         Distribusi pupuk dan bibit bersubsidi.

2
Pertambangan, Energi, Mineral
·         Pembinaan dan pengawasan terhadap pertambangan rakyat
·         Rekomendasi pemberian izin pemanfaatan air bawah tanah dan permukaan;
·         rekomendasi pemberian izin pembangunan tenaga listrik yang baru;
·         rekomendasi pemberian izin pembukaan pertambangan rakyat dalam wilayah desa;
·         rekomendasi pemberian izin pemanfaatan air bawah tanah dan atau sumber mata air di desa
3
Perindustrian Perdangan
·         Pengelolaan lalu lintas ternak yang ada dalam desa;
·         pengelolaan pemasaran hasil industri;
·         pengembangan hasil-hasil industri;
·         pemasyarakatan garam beryodium;
·         pembinaan mengenai keamanan industri makanan yang di produksi rumah tangga di desa;
·         pembinaan rumah potong hewan yang ada di desa;
·         pembinaan persuteraan alam yaitu berupa pondok sutera dengan peralatannya yang dibangun di desa.
·         Rekomendasi pemberian izin investor di bidang industri;
·         pengawasan pencemaran limbah industri;
·         rekomendasi pemberian izin dalam bidang perindustrian yang ada di desa;


Kewenangan Penugasan Lain 
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah berbagai undang-undang sektoral yang bersentuhan dengan desa. Namun kewenangan lain dalam hal ini tidak bermakna “mengatur”, melainkan bermakna “mengurus” atau mengelola, menjalankan, melaksanakan dan menikmati. Ada beberapa contoh undang-undang yang memberi penugasan kepada desa, bahkan memberikan mandat kewenangan kepada desa:

1.      UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, yang mengenal hutan desa atau hutan adat. UU ini menegaskan penyerahan kewenangan kepada masyarakat hukum adat, yang dalam hal ini adalah desa atau yang disebut dengan nama lain. Pasal 67 UU ini menegaskan sebagai berikut:Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: (a) melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; (b) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan (c) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya
2.      UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menegaskan: (a) Kabupaten/kota melakukan penugasan kepada desa untuk menyelenggarakan sebagian urusan Administrasi Kependudukan berdasarkan asas tugas pembantuan; (b) Surat Keterangan Pindah Datang Penduduk Warga Negara Indonesia dalam satu desa/kelurahan, Surat Keterangan Pindah Datang Penduduk Warga Negara Indonesia antardesa/kelurahan dalam satu kecamatan, Surat Keterangan Kelahiran untuk Warga Negara Indonesia, Surat Keterangan Lahir Mati untuk Warga Negara Indonesia dan Surat Keterangan Kematian untuk Warga Negara Indonesia, dapat diterbitkan dan ditandatangani oleh kepala desa/lurah atas nama Kepala Instansi Pelaksana; (c) Desa mengeluarkan berbagai surat keterangan untuk diteruskan ke level yang lebih atas. Untuk butir ini, desa menjalankan penugasan yang membantu pemerintah.
3.      UU No. 18/2012 tentang Pangan: Desa menetapkan jenis dan jumlah cadangan Pangan tertentu sesuai dengan kebutuhan konsumsi masyarakat setempat. UU ini berarti memberikan mandat tentang kewenangan lokal desa di bidang pangan, yakni mengatur dan menyediakan cadangan pangan yang sesuai dengan kondisi lokal.
4.      UU No. 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan menegaskan bahwa pos penyuluhan desa bersifat nonstruktural dan merupakan urusan yang diserahkan kepada desa. Artinya desa membentuk, mengatur, mengelola, membiayai dan membina pos penyuluhan desa.
5.      UU No. 31/2004 tentang Perikanan menegaskan bahwa kewenangan perikanan merupakan kewenangan pemerintah. Sementara nelayan kecil bebas menangkap ikan dan budidaya ikan dimanapun tanpa harus izin dan membayar pungutan.  UU ini tidak mengenal desa, melainkan mengenal masyarakat, sebab desa dikonstruksi sebagai masyarakat, atau salah satu komponen masyarakat adalah desa. Desa tidak memiliki kewenangan mengatur dan mengurus penangkapan ikan maupun budidaya ikan baik di laut maupun di darat. Namun pengaturan pemerintah harus mengakui dan mempertimbangkan hukum adat setempat dan kearifan lokal. Artinya desa mempunyai hak untuk mengembangkan bagan ikan atau karamba ikan atau budidaya ikan berskala lokal yang berorientasi pada kepentingan masyarakat atau nelayan setempat, tanpa harus memperoleh izin dari pemerintah. Desa dapat juga melakukan pemberdayaan terhadap kelompok nelayan kecil. Dengan demikian, UU ini secara tidak langsung memberikan mandat kepada desa untuk mengatur dan mengurus perikanan skala lokal, serta dapat menjalankan tugas pemberdayaan terhadap nelayan kecil.
6.      UU No. 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin memberikan mandat kepada desa untuk melakukan pendataan dan pandaftaran fakir miskin. Pasal 31 juga menegaskan: Pemerintah desa melaksanakan penanganan fakir miskin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ini berarti desa berwenang dan bertanggung jawab menangani faikir miskin desa sesuai dengan kewenangan lokal.
7.      UU No. 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial menegaskan: penyelesaian Konflik melalui mekanisme Pranata Adat dan/atau Pranata difasilitasi oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota dengan melibatkan aparatur kecamatan dan kelurahan/desa setempat. Posisi desa dalam hal ini adalah menjalankan tugas atau membantu terlibat dalam proses faislitasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
8.      UU No. 18/2012  tentang Pangan, Desa menetapkan jenis dan jumlah cadangan Pangan tertentu sesuai dengan kebutuhan konsumsi masyarakat setempat.

Jika daftar kewenangan desa sudah ditegaskan, namun tetap muncul pertanyaan, apa yang bukan menjadi kewenangan desa” sangat penting untuk diperhatikan, sebab dalam praktik pemerintahan desa dan pelaksanaan kewenangan sering muncul dua masalah. Pertama,  dalam menyusun perencanaan, desa sering meraba-raba jenis-jenis kewenangan yang akan direncanakan, karena belum jelasnya ketentuan dan pedoman. Kedua, karena keterbatasan kemampuan pemerintah menjalankan kewenangan dan memberikan pelayanan publik, banyak desa sering menangani urusan-urusan yang bukan menjadi kewenangannya meskipun telah terbukti desa itu mampu menjalankan. Sebagai contoh desa mengadakan ruang kelas untuk sekolah dasar; desa mendirikan Sekolah Menengah Atas (SMA); desa mendirikan rumah sakit untuk rawat inap; maupun desa memperbaiki dan merawat jalan kabupaten. Kehendak desa ini sangat baik untuk mempercepat pelayanan kepada masyarakat, tetapi hal itu keliru (salah) karena beberapa urusan tersebut sebenarnya merupakan kewenangan dan tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota.

Pertama, kewenangan yang telah ditetapkan sebagai kewenangan pemerintah atau pemerintah daerah.Sebagai contoh adalah kewenangan mendirikan dan menyelenggarakan sekolah formal seperti SD, SMP dan SMA yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah maupun pihak organisasi nirlaba (yayasan). Desa tidak berwenang mendidikan dan menyelenggarakan sekolah tersebut. Desa juga tidak berwenang mengeluarkan izin kecuali surat rekomendasi izin. Izin mendirikan bangunan (IMB), misalnya, bukan merupakan kewenangan desa, karena IMB memerlukan berbagai syarat teknis dan lingkungan yang tidak perlu diatur dan diurus oleh desa.

Kedua, kewenangan yang bersifat lintasdesa atau kewenangan yang mempunyai dampak keluar (eksternalitas) kepada desa lain. Sungai, laut, hutan, kebun, gunung dan lain-lain merupakan kewenangan lintas desa yang bukan menjadi kewenangan desa, meskipun desa berhak memperoleh akses untuk mengelola dan memanfaatkan  untuk kepentingan masyarakat setempat. Dengan kalimat lain desa tidak bisa melakukan eksploitasi atau tidak berwenang mengeluarkan izin untuk perambahan atas sumberdaya itu.

Ketiga, kewenangan mengatur dan mengurus sumberdaya alam.Sebagai contoh adalah pertambangan mineral bukan logam dan batuan. Dulu kita mengenal galian tambang C seperti batu, kerikil, pasir, koral, tanah liat dan sebagainya yang sangat dekat dengan wilayah desa. Sekarang dengan UU No. 24/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara beserta PP No. 23/2010, jenis tambang galian C tersebut dikategorikan sebagai mineral bukan logam dan batuan, meskipun sampai sekarang masyarakat pada umumnya masih terbiasa menyebut galian tambang C.  Selama ini kewenangan mengatur dan mengurus mineral bukan logam dan batuan (galian tambang C) berada di tangan bupati/walikota. Desa tidak berhak mengambil, apalagi mengatur dan mengurusnya, sehingga banyak desa menyampaikan tuntutan agar mempunyai hak untuk mengambil dan memproduksi batu dan pasir untuk pendapatan desa.

UU pertambangan mineral dan batubara tidak membuka ruang bagi masyarakat setempat mengambilnya untuk keperluan membangun rumah rakyat dan fasilitas umum. Pemanfaatan atau pengambilan mineral bukan logam dan batuan diatur secara tegas dan ketat dalam PP No. 23/2010 dengan skema eksplorasi dan produksi secara legal. PP ini mengatur tentang pertambangan rakyat (untuk mineral bukan logam dan batuan) yang bersentuhan dengan desa dan masyarakat setempat. Bupati/walikota mempunyai kewenangan untuk mengatur Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan mengeluarkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) di area WPR. Pasal 47 menegaskan: “IPR diberikan oleh bupati/walikota berdasarkan permohonan yang diajukan oleh penduduk setempat, baik orang perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi”. Dengan demikian, desa dan juga BUMDes, tidak mempunyai hak untuk ikut berbisnis tambang mineral bukan logam dan batuan. Dalam hal ini desa (kepala desa) mempunyai tugas membantu, yakni mengeluarkan surat keterangan kepada pemohon IPR (perorangan, kelompok masyarakat maupun koperasi). 

Apakah desa tidak berhak memperoleh uang atau bagi hasil dari bisnis pertambangan mineral bukan logam dan batuan? Tidak ada peraturan yang membolehkan desa memungut uang kepada pemohon IPR. Pemegang IPR hanya berkewajiban membayar pajak daerah kepada kabupaten/kota, bukan kepada desa. UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah juga menegaskan bahwa Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan termasuk salah satu jenis penerimaan pajak daerah. PP No. 72/2005 memang mengatur tentang pembagian sebagian pajak dan retribusi daerah kepada desa. Tetapi ketentuan ini digugurkan oleh UU No. 28/2009 sebab UU tidak mengatur tentang bagi hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota kepada desa.

Dengan memperhatikan berbagai peraturan perundang-undangan itu desa tidak berwenang mengatur, mengurus dan mengambil keuntungan dari pertambangan mineral bukan logam dan batuan (tambang galian C), kecuali hanya bertugas membantu penerbitan surat keterangan bagi pemohon IPR (individu, kelompok masyarakat dan koperasi) baik yang berasal dari desa yang bersangkutan maupun dari luar desa. Namun tentu masih ada celah untuk pengambilan peran dan keuntungan desa secara tidak langsung dari bisnis tambang mineral bukan logam dan batuan. Bisnis tambang tersebut tentu membuka lapangan pekerjaan bagi warga masyarakat desa setempat serta menggairahkan kegiatan ekonomi lokal, termasuk berdampak pada kegiatan bisnis skala kecil lain yang dijalankan oleh warga desa. Di sisi lain desa juga bisa mengembangkan kerjasama dengan pelaku bisnis tambang itu, misalnya BUMDes yang didirikan desa dapat menyewakan truk atau peralatan lain kepada pengusaha.

Kelancaran bisnis tambang rakyat itu juga terkait dengan peran dan tanggungjawab kepala desa, khususnya tanggungjawab membina dan mengembangkan perekonomian masyarakat desa. Desa dapat mengambil peran memfasilitasi, mempersiapkan atau memberdayakan masyarakat, baik individu, kelompok masyarakat maupun koperasi, agar mereka mampu mengakses IPR atas tambang mineral bukan logam dan batuan di wilayah desa yang bersangkutan. Peran ini sebenarnya serupa dengan agenda “mengurus”, yani tindakan kepala desa menggerakkan (atau konsolidasi) kepada pemilik lahan untuk mengembangkan hutan rakyat, kandang terpadu, kebun rakyat, pertanian organik dan lain-lain. Semua ini dimaksudkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat yang memberikan sumbangan terhadap penanggulangan kemiskinan dan pencapaian kesejahteraan.

Bisnis tambang itu tentu juga mendatangkan kerugian bagi desa dan masyarakat, misalnya kerusakan jalan desa akibat dari kegiatan pengangkutan. Desa tentu menghadapi keterbatasan bidaya untuk pembangunan dan perawatan jalan, apalagi tidak didukung dengan bagi hasil pajak mineral bukan logam dan batuan. Tetapi hal bukan malapetaka. Sesuai dengan kebiasaan dan kearifan lokal, desa dapat bermusyawarah dengan pihak pengusaha setempat untuk memperoleh iuran pembangunan yang bisa digunakan sebagai dana perawatan jalan desa. Dari sisi pengusaha, iuran pembangunan itu termasuk dalam kategori dana tanggungjawab sosial, dan dari sisi desa, iuran tersebut termasuk jenis bantuan sukarela pihak ketiga yang dimasukkan ke dalam APBDes.

Pungutan selalu menjadi pembicaraan karena merupakan implikasi dari kewenangan. Apakah desa berhak/berwenang melakukan pungutan? Menurut teori dan peraturan perundang-undangan, kewenangan mengatur menimbulkan hak untuk memperoleh sesuatu, yakni memperoleh pungutan, yang menjadi salah satu sumber pendapatan asli. Pemerintah daerah, misalnya, mempunyai kewenangan untuk mengatur dalam bentuk mengeluarkan izin (misalnya izin mendirikan bangunan, izin reklame, izin keramaian, izin pertambangan, izin usaha dan sebagainya). Atas izin yang dikeluarkan itu, pemerintah daerah berhak menarik pajak daerah. Menurut UU No. 28/2009 Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orangpribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemerintah daerah juga berhak menarik retribusi, sebagai konsekuensi dari jasa pelayanan untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Misalnya retribusi kios pasar, retribusi jasa parkir, retribusi tempat pelelangan ikan, retribusi rumah pemotongan hewan, dan sebagainya.

Bagaimana dengan pungutan desa? Desa pada dasarnya memiliki kewenangan yang terbatas dalam melakukan dan memperoleh pungutan desa. Dulu ada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1982 tentang Pungutan Desa, yang mengatur jenis-jenis pungutan desa seperti : (a) Pungutan karena mendapatkan jasa yang disediakan Pemerintah Desa; (b) Pungutan untuk kegiatan sosial tertentu; (c) Pungutan untuk kegiatan yang bersifat mendesak; dan (d)Pungutan untuk kegiatan-kegiatan Pembangunan. Permendagri ini sebenarnya tidak berlaku lagi, dan sekarang tidak ada Permendagri baru yang secara tegas mengatur jenis-jenis pungutan desa, meskipun desa mempunyai ruang untuk melakukan pungutan desa. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah tahun 2001, kalangan dunia usaha yang paling gencar melakukan protes terhadap pungutan desa tersebut. Mereka menunjuk banyak peraturan daerah bermasalah yang merugikan iklim investasi dan kegiatan dunia usaha, termasuk Perda tentang Pungutan Desa. Karena desakan ini, sampai sekarang Kementerian Dalam Negeri tidak mengatur secara tegas tentang pungutan desa melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri.

Namun bukan berarti desa tidak berwenang melakukan pungutan. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No. 1/2015 telah mengatur batas-batas pungutan desa itu. Pertama, desa berhak melakukan pungutan yang sesuai dengan kewenangan desa. Pengutan itu bukan dalam bentuk pajak yang memaksa, melainkan retribusi dan iuran atau sumbangan sukarela dari warga masyarakat maupun pihak ketiga. Desa dapat memungut retribusi pasar desa, retribusi tambatan perahu, retribusi kuburan, retribusi wisata desa, retribusi pemandian umum, retribusi pelayanan air bersih desa, dan lain-lain.

Kedua,  pungutan tidak boleh dilakukan dua kali atau lebih. Jika obyek pajak maupun jasa pelayanan telah dipungut pajak atau retribusi oleh pemerintah daerah, maka desa tidak boleh atau tidak berwenang menarik pungutan ganda. Dengan demikian ada pembatas bahwa desa tidak berwenang menarik pajak dan tidak boleh melakukan pungutan terhadap jasa layanan administratif. Keduanya menjadi kewenangan pemerintah daerah. Desa mempunyai kewenangan untuk menarik retribusi terhadap jasa pelayanan yang benar-benar menjadi hak milik desa seperti retribusi pasar desa, sampah, tambatan perahu, rumah potong hewan milik desa, parkir di jalan desa, retribusi pemandian umum, retribusi wisata desa, uang sewa rumah toko, dan lain-lain. Intinya, obyek yang boleh dipungut desa adalah aset (barang milik) yang sepenuhnya menjadi hak milik desa. Desa juga diperbolehkan melakukan penarikan iuran atau sumbangan kepada warga maupun pihak ketiga, tetapi bersifat sukarela dan tidak boleh memaksa. 

Sumber :  Materi Pembekalan Pendampingan Desa, 2015

Kami juga menjual dan mempunyai artikel yang lain:
3 komentar:
  1. terimakasih karna artikel ini sangat bermanfaat.
    kami mahu bertanya,untuk kewenangan atw hak desa dalam lingkup perlindungan pesisir/ sempadan pantai,pulau kecil n muara sungai (DPMS) apakah di sebutkan dlm undang2 ??
    karna di desa kami untuk melakukan program penanggulangan bencana seperti konservasi,mitigasi dll sll dpt masalah dari perhutani atau TNI.

    BalasHapus
  2. lengkap sekali ulasannya pak.... dan karena artikel ini sangat relevan dgn artikel saya. klo boleh saya bagikan disini siapa tahu sobat2 desa membutuhkan juga. ini : Perdes Kewenangan Desa

    Terima kasih sudah bisa saling berbagi untuk bersinergi pada kemjuan desa

    BalasHapus
  3. Sangat bermanfaat bagi kita semua, dalam rangka membantu para pihak berkepentingan dalam merencanakan, merealisasikan program inovatif agar tidak terjadi benturan dengan peraturan yang lebih tinggi.
    Sebagai warga masyarakat di masing-masing Desa, dengan penjelasan2 ini akan dapat memberikan saran pendapat ataupun informasi positif untuk kemajuan pembangunan Desanya.
    Terimakasih.

    BalasHapus