Kaidah Penyusunan Peraturan Desa




Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi.

Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggeris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari
skenario sistem yang mengaturnya.

Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi kedudukannya.
Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjangsatu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

1.     Pengertian dan Konsep Dasar Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, maka definisi peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

a.       Berbentuk peraturan tertulis
Pada hakekatnya, hukum dikelompokkan ke dalam hukum tertulis berupa peraturan perundang-undangan, dan hukum tidak tertulis berupa hukum kebiasaan (hukum adat), norma agama, atau putusan hakim (yurisprudensi). Oleh karenanya, peraturan perundang-undangan hanya merupakan sebagian dari hukum yakni dalam arti hukum tertulis. Pengertian ini mengandung makna masih diakui, perlu dihormati dan wajib ditaati ketentuan-ketentuan hukum adat (kebiasaan) yang secara empiris berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Misal, masih dikenal dan diakui keberadaan Lembaga Subak di Bali, hak ulayat, dan sebagainya.

b.      Pembentukannya harus dilakukan Lembaga Negara atau pejabat yang berwenang.
Pengertian ini mengandung makna suatu peraturan perundang-undangan hanya sah secara hukum apabila dibuat oleh pejabat yang berwenang membuatnya.

c.       Mengikat secara umum.
Isi peraturan perundang-undangan mengikat secara umum, tidak mengikat orang tertentu (untuk hal-hal tertentu) saja. Ciri umum ini dimaksudkan untuk membedakan dengan keputusan tertulis dari pejabat berwenang, yang biasanya bersifat individual, konkret, dan einmalig, yang lebih dikenal sebagai “keputusan/penetapan” (beschikking).
Pengertian mengikat umum dalam peraturan perundang-undangan tidak harus dimaknai sebagai mengikat semua orang, tetapi hanya untuk menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan tidak berlaku terhadap peristiwa konkret atau individu tertentu. Karena itu, tidak disebut sebagai ”sesuatu yang mengikat umum” melainkan ”sesuatu yang mengikat secara umum”.

Secara teoritis istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving, atau gesetzgebung), mempunyai beberapa pengertian berikut:
1.         Sebagai proses pembentukan atau proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat Pusat maupun Daerah;
2.         Segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat Pusat maupun Daerah;
3.         Peraturan yang berkaitan dengan Undang-Undang, baik peraturan itu berupa Undang-Undang sendiri, Undang-Undang Dasar yang memberi delegasi konstitusional maupun peraturan di bawah Undang-Undang sebagai atribusi atau delegasi dari Undang-Undang tersebut. Atas dasar atribusi dan delegasi kewenangan perundang-undangan, yang tergolong peraturan perundang-undangan di Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen, adalah:
a.       Undang-Undang, dan
b.      Peraturan perundangan yang lebih rendah daripada Undang-Undang, seperti:
1)     Peraturan Pemerintah;
2)     Keputusan Presiden yang berisi peraturan;
3)     Keputusan Menteri yang berisi peraturan;
4)     Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berisi peraturan;
5)     Keputusan Direktur Jenderal Departemen yang dibentuk dengan Undang-Undang yang berisi peraturan;
6)     Peraturan Daerah Provinsi;
7)     Keputusan Gubernur Kepala Daerah yang berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah Provinsi;
8)     Peraturan Daerah Kabupaten dan Keputusan Bupati/Walikota Kepala Daerah, yang berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah Tingkat II.
4.         Semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah, baik di tingkat Pusat maupun di Daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat Pusat maupun Daerah.

Peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat umum (algemeen verbinden voorshrift) disebut juga dengan istilah Undang-Undang dalam arti materiil (wet in materiele zin), yaitu semua hukum tertulis dari Pemerintah yang mengikat umum (ieder rechtsvoorschrift van de overheid met algemeen strekking).
Sebagai sebuah bentuk peraturan hukum yang bersifat in abstracto atau general norm, maka perundang-undangan mempunyai ciri mengikat atau berlaku secara umum dan bertugas mengatur hal-hal yang bersifat umum (general).

Kata perundang-undangan apabila merupakan terjemahan wetgeving berarti sebagai:
1.      perbuatan membentuk peraturan-peraturan negara tingkat pusat atau tingkat daerah menurut tata cara yang ditentukan.
2.      keseluruhan peraturan-peraturan negara tingkat pusat dan tingkat daerah.

2.       Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Secara Teoritis
Asas peraturan perundang-undangan, termasuk produk hukum desa, secara teoritis dapat dikemukakan sebagai berikut :

a.          Asas Tingkatan Hirarki
Suatu perundang-undangan isinya tidak boleh bertentangan dengan isiperundang-undangan yang lebih tinggi tingkatan atau derajatnya. Berdasarkan asas ini dapatlah dirinci hal-hal  berikut :
a.        Perundang-undangan yang lebih rendah derajatnya tidak dapat mengubah atau mengesampingkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi yang sebaliknya dapat;
b.        Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah oleh atau dengan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya;
c.         Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya;
d.        Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum serta mengikat, walaupun diubah, ditambah diganti atau dicabut oleh perundang-undangan yang lebih rendah;
e.        Materi yang seharusnya diatur oleh perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh perundang-undangan yang lebih rendah, tetapi yang sebaliknya dapat. Namun demikian, tidak tepat apabila perundang-undangan yang lebih tinggi mengambil alih fungsi perundang-undangan yang lebih rendah. Apabila terjadi demikian, pembagian wewenang mengatur dalam suatu negara menjadi kabur. Di samping itu, badan pembentuk perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut akan teramat sibuk dengan persoalan-persoalan yang selayaknya diatur oleh badan pembentuk perundang-undangan yang lebih rendah.

Asas-asas tersebut di atas penting untuk ditaati. Tidak ditaatinya asas dimaksud akan menimbulkan ketidaktertiban dan ketidakpastian dari sistem perundang-undangan, bahkan dapat menimbulkan kekacauan atau kesimpangsiuran perundang-undangan.

b.          Peraturan Perundang-undangan tidak dapat Diganggu Gugat

Asas ini berkaitan dengan hak menguji perundang-undangan (toetsingsrecht). Sebagaimana diketahui hak menguji perundang-undangan ada 2 (dua) macam yakni:
a.       Hak menguji secara materiel (materieletoetsingsrech) yaitu, menguji materi atau isi dari perundang-undangan apakah bertentangan dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.
b.      Hak menguji secara formal (formele toetsingsrecht) yaitu menguji apakah semua formalitas atau tata cara pembentukan sudah dipenuhi.

Dalam hal ini, materi atau isi peraturan perundang-undangan tidak dapat diuji oleh siapapun, kecuali oleh badan pembentuk sendiri atau badan yang berwenang yang lebih tinggi. Jadi yang dapat menguji dan mengadakan perubahan hanyalah badan pembentuk peraturan perundang-undangan itu sendiri atau badan yang berwenang yang lebih tinggi.
Namun, dalam perkembangannya, asas peraturan perundang-undangan tidak dapat diganggu gugat tersebut sudah memiliki penyimpangan. Dalam hal ini konsep judicial review meletakkan lembaga peradilan (misalnya Mahkamah Agung, atau Mahkamah Konstitusi) dapat menjadi lembaga yang menguji konstitusionalitas peraturan perundangan. Dalam konsep demikian badan pembentuk peraturan perundangan menjadi positive legislator sedangkan lembaga pelaksana judicial review bertindak sebagai negative legislator.

Perlu diketahui, asas peraturan perundang-undangan tidak dapat diganggu gugat tetap konsisten diterapkan di negara-negara yang menganut prinsip kedaulatan parlemen (parliamentary sovereignty). Di negara-negara demikian – seperti Inggris dan Perancis, sebagai perwujudan kedaulatan parlemen, produk parlemen – termasuk undang-undang – dinyatakan tidak dapat diganggu-gugat.

c.           Peraturan Perundang-undangan yang Bersifat Khusus Mengesampingkan Peraturan Perundang-undangan yang Bersifat Umum (Lex Specialis Derogat Lex Generalis)

Pada prinsipnya, peraturan perundang-undangan yang bersifat umum mengatur persoalan-persoalan pokok dan berlaku secara umum pula. Selain itu ada juga peraturan perundang-undangan yang menyangkut persoalan pokok dimaksud, tetapi pengaturannya secara khusus menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang umum tersebut .

Kekhususan itu dikarenakan sifat hakikat dari masalah atau persoalan atau karena kepentingan yang hendak diatur mempunyai nilai intrinsic yang khusus, sehingga diperlukan pengaturan secara khusus pula. Sebagai contoh, di Indonesia terdapat hukum pidana umum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku umum (berlaku bagi setiap penduduk). Sungguhpun demikian, bagi golongan tertentu, dalam hal ini misalnya untuk militer, disebabkan sifat hakikat tugasnya yang khusus yaitu bertempur dengan menggunakan kekerasan (senjata), perlu bagi militer tersebut dalam beberapa hal mengenai hukum pidana diatur secara khusus, menyimpang dari hukum pidana umum. Masalah yang khusus dimaksud, antara lain misalnya apa yang dikenal dengan tindak pidana desersi, yaitu perbuatan meninggalkan kesatuannya untuk selama-lamanya tanpa izin atau tindak pidana melarikan diri dari pertempuran, dan lain sebagainya. Oleh karenanya untuk kalangan militer ditetapkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) yang bersifat khusus di samping KUHP yang bersifat umum.

Dalam KUHP telah diatur misalnya mengenai tindak pidana pencurian (Pasal 362 dan seterusnya), tetapi pencurian yang dilakukan oleh militer di dalam kesatuan militer diatur pula dalam KUHPM (Pasal 140). Dengan demikian terhadap militer yang melakukan pencurian dalam kesatuan militer berlaku 2 (dua) ketentuan hukum, yaitu Pasal 362 KUHP dan Pasal 140 KUHPM. Dalam keadaan tersebut yang digunakan atau berlaku adalah Pasal 140 KUHPM. Perbedaannya adalah ancaman hukuman dalam Pasal 140 KUHPM lebih berat daripada ancaman hukuman Pasal 362 KUHP. Jadi dalam hal ini Undang-Undang yang bersifat khusus mengesampingkan Undang-Undang yang bersifat umum dalam persaingannya dengan Undang-Undang yang bersifat umum tersebut.

Kekhususan dimaksud dapat dilihat dari rumusan Undang-Undang itu sendiri. Misalnya, Pasal 1 KUHPM merumuskan tentang berlakunya KUHP (Undang-Undang yang umum), kecuali jika ditetapkan secara khusus dalam KUHPM menyimpang dari KUHP. Demikian juga mengenai hubungan hukum yang khusus dengan hukum yang umum dalam bidang perdata yaitu, antara hukum dagang dengan hukum  perdata, tercantum dalam rumusan Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang menyatakan bahwa KUH Perdata berlaku terhadap persolan-persoalan yang diatur oleh KUHD, kecuali yang ditentukan menyimpang.

d.          Peraturan Perundang-undangan tidak Berlaku Surut

Asas ini berkaitan dengan lingkungan kuasa hukum (geldingsgebied van het recht), meliputi:
a.       Lingkungan kuasa tempat (ruimtegebied, territorial sphere), yang menunjukkan tempat berlakunya hukum atau perundang-undangan. Suatu ketentuan hukum atau perundang-undangan berlaku untuk seluruh wilayah negara atau hanya untuk sebagian wilayah negara.
b.      Lingkungan kuasa personel (zakengebied, material sphere), yaitu menyangkut masalah atau persoalan yang diatur. Misalnya, apakah mengatur persoalan perdata atau mengatur persoalan publik. Lebih sempit lagi, apakah mengatur persoalan pajak ataukah mengatur persoalan kewarganegaraan, dan lain sebaginya.
c.       Lingkungan kuasa orang (personengebied, personal sphere), yaitu menyangkut orang yang diatur, apakah berlaku untuk setiap penduduk atau hanya untuk Pegawai Negeri atau hanya untuk kalangan anggota ABRI saja, dan lain sebagainya;
d.      Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied, temporal sphere), yang menunjukkan sejak kapan dan sampai kapan berlakunya sesuatu ketentuan hukum atau perundang-undangan.

Asas “Peraturan Perundang-undangan tidak berlaku surut” berkaitan dengan lingkungan kuasa waktu atau tijdsgebied atau temporal sphere sebagaimana tersebut di atas. Peraturan perundang-undangan dibuat dengan maksud untuk keperluan masa depan sejak peraturan perundang-undang tersebut diundangkan. Tidaklah layak apabila materi yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan diberlakukan untuk masa silam sebelum peraturan perundang-undangan itu dibuat dan diundangkan. Karena apabila diberlakukan surut akan dapat menimbulkan berbagai akibat yang tidak baik.

e.       Peraturan Perundang-undangan yang Baru Mengesampingkan Peraturan Perundang-undangan yang Lama (Lex Posteriori Derogat Lex Priori)

Apabila ada suatu masalah yang diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yang lama diatur pula dalam peraturan perundang-undangan yang baru, maka ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang baru yang berlaku. Dalam hal ini tentunya apabila ada perbedaan, baik mengenai  maksud, tujuan maupun maknanya.  

Secara Normatif

Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, maka dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a.      kejelasan tujuan.

setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

b.      kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat.

Setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.

c.      kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan.

Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.

d.     dapat dilaksanakan.

Setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis

e.      kedayagunaan dan kehasilgunaan.

Setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

f.       kejelasan rumusan.

Setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

g.      keterbukaan.
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a.       pengayoman.
Setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.
b.      Kemanusiaan.
Setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional
c.       Kebangsaan.
Setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d.      Kekeluargaan.
Setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e.       Kenusantaraan.
Setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
f.        bhinneka tunggal ika.
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g.       Keadilan.
Setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
h.      kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
Setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial
i.         ketertiban dan kepastian hukum.
Setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum
j.         keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
Selain mencerminkan asas tersebut, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Antara lain:
a.  dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b.    dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.


3.     Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan

Hierarki peraturan perundang-undangan adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yangdidasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Mengacu pada Pasal 7 ayat (1) UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
            a.       Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
            b.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
            c.       Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
            d.      Peraturan Pemerintah;
            e.       Peraturan Presiden;
            f.        Peraturan Daerah Provinsi; dan
            g.       Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

         
HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


 

Sedangkan Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Peraturan Perundang-undangan ini diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. 
Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Sedangkan dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.


 Sumber :  Materi Pembekalan Pendampingan Desa, 2015
Kami juga menjual dan mempunyai artikel yang lain:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar