Dalam konsep
Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika
kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi.
Karena itu,
jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggeris untuk menyebut prinsip Negara
Hukum adalah ‘the rule of law, not of
man’. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem,
bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari
skenario sistem yang mengaturnya.
skenario sistem yang mengaturnya.
Gagasan
Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri
sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan
menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan
sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan
kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya,
dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi kedudukannya.
Sebagai
negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan,
dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai
dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang
berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjangsatu dengan yang
lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1.
Pengertian dan Konsep Dasar Peraturan
Perundang-undangan
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, maka
definisi peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat
norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-undangan.
a.
Berbentuk
peraturan tertulis
Pada hakekatnya, hukum
dikelompokkan ke dalam hukum tertulis berupa peraturan perundang-undangan, dan
hukum tidak tertulis berupa hukum kebiasaan (hukum adat), norma agama, atau
putusan hakim (yurisprudensi). Oleh karenanya, peraturan perundang-undangan
hanya merupakan sebagian dari hukum yakni dalam arti hukum tertulis. Pengertian
ini mengandung makna masih diakui, perlu dihormati dan wajib ditaati ketentuan-ketentuan
hukum adat (kebiasaan) yang secara empiris berlaku dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat. Misal, masih dikenal dan diakui keberadaan Lembaga Subak
di Bali, hak ulayat, dan sebagainya.
b.
Pembentukannya harus dilakukan Lembaga Negara atau pejabat yang berwenang.
Pengertian
ini mengandung makna suatu peraturan
perundang-undangan hanya sah secara hukum apabila dibuat oleh pejabat yang
berwenang membuatnya.
c.
Mengikat
secara umum.
Isi
peraturan perundang-undangan mengikat secara umum, tidak mengikat orang
tertentu (untuk hal-hal tertentu) saja. Ciri umum ini dimaksudkan untuk
membedakan dengan keputusan tertulis dari
pejabat berwenang, yang biasanya bersifat individual, konkret, dan einmalig, yang lebih dikenal sebagai
“keputusan/penetapan” (beschikking).
Pengertian mengikat umum dalam
peraturan perundang-undangan tidak harus dimaknai sebagai mengikat semua orang,
tetapi hanya untuk menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan tidak berlaku
terhadap peristiwa konkret atau individu tertentu. Karena itu, tidak disebut
sebagai ”sesuatu yang mengikat umum” melainkan ”sesuatu yang mengikat secara
umum”.
Secara
teoritis istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving, atau
gesetzgebung), mempunyai beberapa pengertian berikut:
1.
Sebagai
proses pembentukan atau proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di
tingkat Pusat maupun Daerah;
2.
Segala
peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di
tingkat Pusat maupun Daerah;
3.
Peraturan
yang berkaitan dengan Undang-Undang, baik peraturan itu berupa Undang-Undang
sendiri, Undang-Undang Dasar yang memberi delegasi konstitusional maupun
peraturan di bawah Undang-Undang sebagai atribusi atau delegasi dari
Undang-Undang tersebut. Atas dasar atribusi dan delegasi kewenangan perundang-undangan,
yang tergolong peraturan perundang-undangan di Indonesia berdasarkan UUD 1945
sebelum diamandemen, adalah:
a.
Undang-Undang,
dan
b.
Peraturan perundangan yang lebih
rendah daripada Undang-Undang, seperti:
1) Peraturan Pemerintah;
2)
Keputusan Presiden yang berisi peraturan;
3)
Keputusan Menteri yang berisi peraturan;
4)
Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berisi peraturan;
5)
Keputusan Direktur Jenderal Departemen yang dibentuk dengan Undang-Undang
yang berisi peraturan;
6) Peraturan Daerah Provinsi;
7) Keputusan Gubernur Kepala Daerah yang berisi
peraturan yang melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah Provinsi;
8) Peraturan Daerah Kabupaten dan Keputusan
Bupati/Walikota Kepala Daerah, yang berisi peraturan yang melaksanakan
ketentuan Peraturan Daerah Tingkat II.
4.
Semua
peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan
Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah, baik di tingkat Pusat maupun di Daerah,
serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat
Pusat maupun Daerah.
Peraturan
perundang-undangan yang bersifat mengikat umum (algemeen verbinden
voorshrift) disebut juga dengan istilah Undang-Undang dalam arti materiil (wet
in materiele zin), yaitu semua hukum tertulis dari Pemerintah yang mengikat
umum (ieder rechtsvoorschrift van de overheid met algemeen strekking).
Sebagai
sebuah bentuk peraturan hukum yang bersifat in abstracto atau general
norm, maka perundang-undangan mempunyai ciri mengikat atau berlaku secara
umum dan bertugas mengatur hal-hal yang bersifat umum (general).
Kata perundang-undangan apabila merupakan terjemahan wetgeving berarti sebagai:
1.
perbuatan membentuk peraturan-peraturan negara tingkat pusat atau tingkat
daerah menurut tata cara yang ditentukan.
2.
keseluruhan peraturan-peraturan negara tingkat pusat dan tingkat daerah.
2. Asas-Asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Secara Teoritis
Asas peraturan perundang-undangan, termasuk produk hukum desa, secara
teoritis dapat dikemukakan sebagai berikut :
a.
Asas Tingkatan Hirarki
Suatu perundang-undangan
isinya tidak boleh bertentangan dengan isiperundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatan atau derajatnya. Berdasarkan asas ini dapatlah dirinci hal-hal berikut :
a.
Perundang-undangan
yang lebih rendah derajatnya tidak dapat mengubah atau mengesampingkan
ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi yang
sebaliknya dapat;
b.
Perundang-undangan
hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah oleh atau dengan perundang-undangan
yang sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya;
c.
Ketentuan-ketentuan
perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mempunyai kekuatan
hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan dengan perundang-undangan yang
lebih tinggi tingkatannya;
d.
Ketentuan-ketentuan
perundang-undangan yang lebih tinggi tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum
serta mengikat, walaupun diubah, ditambah diganti atau dicabut oleh
perundang-undangan yang lebih rendah;
e.
Materi yang
seharusnya diatur oleh perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya tidak
dapat diatur oleh perundang-undangan yang lebih rendah, tetapi yang sebaliknya
dapat. Namun demikian, tidak tepat apabila perundang-undangan yang lebih tinggi
mengambil alih fungsi perundang-undangan yang lebih rendah. Apabila terjadi
demikian, pembagian wewenang mengatur dalam suatu negara menjadi kabur. Di
samping itu, badan pembentuk perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut akan
teramat sibuk dengan persoalan-persoalan yang selayaknya diatur oleh badan
pembentuk perundang-undangan yang lebih rendah.
Asas-asas
tersebut di atas penting untuk ditaati. Tidak ditaatinya asas dimaksud akan
menimbulkan ketidaktertiban dan ketidakpastian dari sistem perundang-undangan,
bahkan dapat menimbulkan kekacauan atau kesimpangsiuran perundang-undangan.
b.
Peraturan Perundang-undangan tidak dapat Diganggu Gugat
Asas ini berkaitan dengan hak menguji perundang-undangan (toetsingsrecht). Sebagaimana diketahui
hak menguji perundang-undangan ada 2 (dua) macam yakni:
a.
Hak menguji secara materiel (materieletoetsingsrech)
yaitu, menguji materi atau isi dari perundang-undangan apakah bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.
b.
Hak menguji secara formal (formele
toetsingsrecht) yaitu menguji apakah semua formalitas atau tata cara
pembentukan sudah dipenuhi.
Dalam hal ini, materi atau isi peraturan perundang-undangan tidak dapat
diuji oleh siapapun, kecuali oleh badan pembentuk sendiri atau badan yang
berwenang yang lebih tinggi. Jadi yang dapat menguji dan mengadakan perubahan
hanyalah badan pembentuk peraturan perundang-undangan itu sendiri atau badan
yang berwenang yang lebih tinggi.
Namun, dalam perkembangannya, asas peraturan perundang-undangan tidak dapat
diganggu gugat tersebut sudah memiliki penyimpangan. Dalam hal ini konsep judicial review meletakkan lembaga
peradilan (misalnya Mahkamah Agung, atau Mahkamah Konstitusi) dapat menjadi
lembaga yang menguji konstitusionalitas peraturan perundangan. Dalam konsep
demikian badan pembentuk peraturan perundangan menjadi positive legislator sedangkan lembaga pelaksana judicial review bertindak sebagai negative legislator.
Perlu diketahui, asas peraturan perundang-undangan tidak dapat diganggu
gugat tetap konsisten diterapkan di negara-negara yang menganut prinsip
kedaulatan parlemen (parliamentary
sovereignty). Di negara-negara demikian – seperti Inggris dan Perancis,
sebagai perwujudan kedaulatan parlemen, produk parlemen – termasuk
undang-undang – dinyatakan tidak dapat diganggu-gugat.
c.
Peraturan
Perundang-undangan yang Bersifat Khusus Mengesampingkan Peraturan
Perundang-undangan yang Bersifat Umum (Lex
Specialis Derogat Lex Generalis)
Pada prinsipnya, peraturan perundang-undangan
yang bersifat umum mengatur persoalan-persoalan pokok dan berlaku secara umum pula. Selain itu ada
juga peraturan perundang-undangan yang menyangkut persoalan pokok dimaksud,
tetapi pengaturannya secara khusus menyimpang dari ketentuan peraturan
perundang-undangan yang umum tersebut .
Kekhususan itu
dikarenakan sifat hakikat dari masalah atau persoalan atau karena kepentingan
yang hendak diatur mempunyai nilai intrinsic
yang khusus, sehingga diperlukan pengaturan secara khusus pula. Sebagai contoh,
di Indonesia terdapat hukum pidana umum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku umum (berlaku bagi setiap penduduk).
Sungguhpun demikian, bagi golongan tertentu, dalam hal ini misalnya untuk
militer, disebabkan sifat hakikat tugasnya yang khusus yaitu bertempur dengan
menggunakan kekerasan (senjata), perlu bagi militer tersebut dalam beberapa hal
mengenai hukum pidana diatur secara khusus, menyimpang dari hukum pidana umum.
Masalah yang khusus dimaksud, antara lain misalnya apa yang dikenal dengan
tindak pidana desersi, yaitu perbuatan meninggalkan kesatuannya untuk
selama-lamanya tanpa izin atau tindak pidana melarikan diri dari pertempuran,
dan lain sebagainya. Oleh karenanya untuk kalangan militer ditetapkan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) yang bersifat khusus di samping KUHP
yang bersifat umum.
Dalam KUHP telah
diatur misalnya mengenai tindak pidana pencurian (Pasal 362 dan seterusnya),
tetapi pencurian yang dilakukan oleh militer di dalam kesatuan militer diatur
pula dalam KUHPM (Pasal 140). Dengan demikian terhadap militer yang melakukan
pencurian dalam kesatuan militer berlaku 2 (dua) ketentuan hukum, yaitu Pasal
362 KUHP dan Pasal 140 KUHPM. Dalam keadaan tersebut yang digunakan atau
berlaku adalah Pasal 140 KUHPM. Perbedaannya adalah ancaman hukuman dalam Pasal
140 KUHPM lebih berat daripada ancaman hukuman Pasal 362 KUHP. Jadi dalam hal
ini Undang-Undang yang bersifat khusus mengesampingkan Undang-Undang yang
bersifat umum dalam persaingannya dengan Undang-Undang yang bersifat umum
tersebut.
Kekhususan dimaksud
dapat dilihat dari rumusan Undang-Undang itu sendiri. Misalnya, Pasal 1 KUHPM
merumuskan tentang berlakunya KUHP (Undang-Undang yang umum), kecuali jika
ditetapkan secara khusus dalam KUHPM menyimpang dari KUHP. Demikian juga
mengenai hubungan hukum yang khusus dengan hukum yang umum dalam bidang perdata
yaitu, antara hukum dagang dengan hukum perdata, tercantum dalam rumusan Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD) yang menyatakan bahwa KUH Perdata berlaku terhadap persolan-persoalan
yang diatur oleh KUHD, kecuali yang ditentukan menyimpang.
d.
Peraturan
Perundang-undangan tidak Berlaku Surut
Asas ini berkaitan dengan lingkungan kuasa hukum (geldingsgebied van het recht), meliputi:
a.
Lingkungan kuasa tempat (ruimtegebied,
territorial sphere), yang menunjukkan tempat berlakunya hukum atau
perundang-undangan. Suatu ketentuan hukum atau perundang-undangan berlaku untuk
seluruh wilayah negara atau hanya untuk sebagian wilayah negara.
b.
Lingkungan kuasa personel (zakengebied,
material sphere), yaitu menyangkut masalah atau persoalan yang diatur.
Misalnya, apakah mengatur persoalan perdata atau mengatur persoalan publik.
Lebih sempit lagi, apakah mengatur persoalan pajak ataukah mengatur persoalan
kewarganegaraan, dan lain sebaginya.
c.
Lingkungan kuasa orang
(personengebied, personal sphere),
yaitu menyangkut orang yang diatur, apakah berlaku untuk setiap penduduk atau
hanya untuk Pegawai Negeri atau hanya untuk kalangan anggota ABRI saja, dan
lain sebagainya;
d.
Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied,
temporal sphere), yang menunjukkan sejak kapan dan sampai kapan berlakunya
sesuatu ketentuan hukum atau perundang-undangan.
Asas “Peraturan Perundang-undangan tidak berlaku surut” berkaitan dengan
lingkungan kuasa waktu atau tijdsgebied
atau temporal sphere sebagaimana
tersebut di atas. Peraturan perundang-undangan dibuat dengan maksud untuk keperluan
masa depan sejak peraturan perundang-undang tersebut diundangkan. Tidaklah
layak apabila materi yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
diberlakukan untuk masa silam sebelum peraturan perundang-undangan itu dibuat
dan diundangkan. Karena apabila diberlakukan surut akan dapat menimbulkan
berbagai akibat yang tidak baik.
e. Peraturan Perundang-undangan yang Baru Mengesampingkan Peraturan
Perundang-undangan yang Lama (Lex
Posteriori Derogat Lex Priori)
Apabila ada suatu masalah yang diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan
yang lama diatur pula dalam peraturan perundang-undangan yang baru, maka
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang baru yang berlaku. Dalam hal
ini tentunya apabila ada perbedaan, baik mengenai maksud, tujuan maupun maknanya.
Secara Normatif
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, maka dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan.
setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang
tepat.
Setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan.
Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
d. dapat dilaksanakan.
Setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan.
Setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
f. kejelasan rumusan.
Setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. keterbukaan.
dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan
atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan
demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya
untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Materi
muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan asas:
a.
pengayoman.
Setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan
pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.
b.
Kemanusiaan.
Setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan
penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara
dan penduduk Indonesia secara proporsional
c.
Kebangsaan.
Setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d.
Kekeluargaan.
Setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e.
Kenusantaraan.
Setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan
seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang
dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
f.
bhinneka
tunggal ika.
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g.
Keadilan.
Setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
h.
kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
Setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan
latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status
sosial
i.
ketertiban
dan kepastian hukum.
Setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan kepastian hukum
j.
keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan.
Setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan
negara.
Selain
mencerminkan asas tersebut, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi
asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan. Antara lain:
a. dalam Hukum
Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas
pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b. dalam Hukum
Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan,
kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
3.
Jenis dan Hierarki Peraturan
Perundang-undangan
Hierarki
peraturan perundang-undangan adalah penjenjangan
setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yangdidasarkan pada asas bahwa
Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Mengacu pada
Pasal 7 ayat (1) UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.
Peraturan
Pemerintah;
e.
Peraturan
Presiden;
f.
Peraturan
Daerah Provinsi; dan
g.
Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
HIERARKI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Sedangkan
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,
Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang
setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.
Peraturan
Perundang-undangan ini diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan.
Dalam
hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Sedangkan dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang
diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah
Agung.
Sumber : Materi Pembekalan Pendampingan Desa, 2015
Kami juga menjual dan mempunyai artikel yang lain: